MUGI BENGAT DAN HAWUK-HAWUK KOTAGEDE

Mugi Bengat alias Ny. Hartono Saputro (37) warga Dolahan Kelurahan Purbayan Kotagede Yogyakarta, merasa terpanggil mempertahankan ketrampilannya untuk menyuguhkan aneka masakan tradisional khas Kotagede yang selama ini dirasa sebagai pelepas rindu masakan kampung. Ketrampilan masak memasak yang dimilikinya, merupakan hasil karya dan perjuangan panjang dari sebuah keberanian untuk membuat aneka masakan yang sedap demi kepuasan lidah para konsumennya. Masak-memasak, apalagi yang berbau tradisional bagi Ny Mugi Bengat sudah merupakan dunia keduannya yang sudah tidak dapat ditukar dengan aktifitas lain. Oleh sebab itu, demi melestarikan masakan tradisional, Ny. Mugi rela untuk setiap kali ada kesempatan tetap eksis sebagai pelestari masakan khas Kotagede dengan menghadirkan berbagai masakan basah seperti sayur- mayur atau makanan kecil yang erat terbungkus daun pisang atau tusuk lidi yang menjadi ciri khas makanan tradisional. Yang namanya kue lego moro, bantalan, kodokan, lemper, nogosari, cok genem bahkan yang sudah tak banyak terdengar namanya maupun tampak sosoknya adalah apa yang disebut Hawuk-hawuk, bagi Ny. Mugi Bengat tetap menjadi kue kesukaan yang tak bisa dilupakan. Sejak masih gadis dulu, yang namanya Mugi Bengat sudah berkecimpung dalam dunia masak-memasak, hal ini dilaksanakan selain karena harus ikut memikul beban ekonomi keluarga juga karena hobi yang sudah ada sejak kecil. Bagi si Mugi sudah tidak asing lagi dengan apa yang namanya kulakan bahan kue dan memrosesnya untuk jadi kue yang lezat dan menjajakannya kepada para konsumen, ini adalah pekerjaan rutin yang datang silih berganti setiap hari dan dilaksanakan dengan punuh kegembiraan sebagai suatu ibadah bagi Tuhannya yang telah memberikan modal berupa bakat pandai memasak dan sekaligus bisa menjualnya. Bakat memasak sudah Ia sadari sejak usia remaja, sehingga ketika selesai menamatkan pendidikan Dasar di SD Negeri Kotagede, Mugi melanjutkan belajar di Sekolah Kepandaian Putri ( SKP) Taman Ibu di Kawasan Purwanggan - Pakualaman pada tahun 1962, yang sekarang gedungnya entah sudah menjadi bangunan apa, tapi yang jelas sekeluar dari SKP-TI tersebut, bakat memasak yang ada kian berkembang dan dirasa sebagai jalan hidup yang sejak saat itu terus Ia tekuni hingga kini Mugi Bengat telah mengelola Katering yang di berinya nama Restu hal ini Ia rasakan sebagai restu Illahi yang Ia terima setelah bertahun-tahun bergelut dengan dunia masak-memasak. Semasa gadis dulu, ketika harus ikut meringankan beban ekonomi keluarga, tidak jarang Mugi harus menjajakan hasil karyanya di setiap warung makan, atau kepada sanak saudara sekampung untuk mendapatkan modal dan keuntungannya, namun kadang tidak semulus yang dibayangkan untuk mendapatkan kembali modal, sering kali juga jika tidak laku, makanan yang menumpuk tidak laku harus disiasati dengan jalan menukarkannya dengan bahan mentah atau diutangkan kepada para pedagang yang ada di pasar sebagai oleh-oleh untuk anak-anak di rumah. Kini Mugi telah mempunyai dua putra, tapi entah apa jadinya nanti dengan keinginanya untuk tetap ingin mempertahankan masakan tradisional, apa anak-anaknya juga sepaham dengan ibunya ? entahlah, tetapi yang jelas dengan adanya katering yang dikelola oleh keluarga, bisa diharapkan cita-cita Mugi Bengat akan lestarinya aneka masakan tradisional dapat tercapai. Sebagai pengusaha makanan tradisional tentu tidak luput dari suka dan duka yang mengiringi setiap kiprahnya. Yang dirasa sebagai duka manakala ada pesanan mendadak dan terpaksa tidak dapat dilayaninya karena waktu dan tenaga yang dirasa sangat terbatas. Atau manakala mendapatkan bahan baku yang yang rusak atau tidak seperti yang biasanya Ia olah, ini kadang harus membuat ekstra hati-hati didalam memasaknya, tidak jarang Mugi harus berkorban bahan untuk mengadakan percobaan untuk mendapatkan rasa dan aroma yang lezat. Sedang bila ada pemesan yang merasa tidak puas dengan rasa yang dipesannya, inilah yang sebenarnya duka bagi si pembuat makanan, karena soal rasa inilah yang menjadi paten baginya. Sedang sukanya tentu lebih banyak lagi daripada dukanya, dengan beredarnya makanan tradisional di Kota Yogyakarta, maka semakin terkenal nama Kotagede sebagai gudangnya makanan jawa tradisional. Menjadi tidak afdol jika tidak makan masakan tradisional yang pada saat-saat berbuka puasa seperti sekarang ini jika tidak berkunjung ke Pasar Kotagede yang sejak sore hari telah siap menanti kunjungan para pembeli. Soal resep-meresep bagi Mugi bukan menjadi rahasia, sebab tujuan utama adalah tetap hadirnya anaeka makanan tradisional ditengan kancah beredarnya roti pabrikan yang banyak beredar di swalayan maupun toko-tokoil sekitar rumah. Adanya resep masakan tradisional jika dipublikasikan adalah merupakan suatu kebanggaan dan keberuntungan, sebab akan menambah penggemar dan penikmat masakan . Yang perlu diingat bahwa, soal rasa dan selera adalah bersifat individual, sehingga tangan seseorang tidak bisa disamakan didalam mengolah suatu bahan makanan dengan aroma dan rasa yang sama, orang Jawa mengatakan bahwa memasak adalah tanganan. Berbicara makanan tentu terbetik pertanyaan, apakah makanan ini mengandung bahan pengawet kimia ? bagi Mugi Bengat lebih baik menghindari yang namanya bahan kimia itu, sebab dalam resep makanan Jawa sudah ada cara dan bahan pengawet makan yang layak di konsumsi dan murah serta mudah mendapatkannya. Sekarang yang ada bagi Ny Mugi Bengat alias Ny.Hartono Saputro adalah kerinduan untuk tetap mempertahankan aneka makanan tradisional di tengah masyarakat sebagai cap atau ciri khas Masakan masyarakat yang ramah rasa, bebas bahan kimia dan tahan lama. (pi khi pemkot, Nurpireno)