Kolaborasi Antar Sektor Jadi Kunci Sukses Penurunan Angka Stunting
Pemerintah Kota Yogyakarta terus berupaya menurunkan angka stunting atau kekurangan gizi kronis yang terjadi selama periode awal tumbuh kembang anak. Dituturkan oleh dr. Riska Novriana selaku Kepala Seksi Kesehatan dan Gizi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, pada tahun 2020, data prevalensi stunting di Kota Yogyakarta berada di sekitar 10% dari target 14%.
"Angka ini menunjukkan penanganan Stunting di Kota sudah cukup baik, jauh lebih baik dari angka data prevalensi nasional, namun harapannya bisa nol kasus," tutur Riska pada acara Diseminasi Pemetaan dan Analisis Program Stunting yang dilaksanakan pada Selasa (9/3) di Hotel Gaia Cosmo Yogyakarta.
Namun demikian, Riska mengatakan, dibandingkan tahun 2019, terdapat kenaikan jumlah kasus stunting di Kota Yogyakarta, hal ini dimungkinkan adanya pandemi Covid-19 yang menyebabkan operasional Posyandu sempat berhenti selama kurang lebih lima bulan serta meningkatnya angka kemiskinan yang berdampak pada asupan gizi pada masyarakat.
"Inilah mengapa untuk menyelesaikan permasalahan stunting perlu adanya kolaborasi dan integrasi antar OPD. Permasalahan stunting bukan hanya terkait dengan kesehatan, namun juga hal lain seperti kemiskinan, ketahanan pangan, sanitasi, ketersediaan air bersih, pendidikan calon pengantin, dan pendidikan pola asuh orangtua," jelasnya.
Kota Yogyakarta sendiri menjadi satu dari 320 kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai fokus intervensi penurunan stunting terintegrasi tahun 2022, namun demikian Pemkot sudah merintis kegiatan tersebut pada tahun ini.
Kepala Bidang Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB), Herristanti mengatakan, terdapat dua intervensi yang dilakukan untuk menurunkan angka stunting, yakni Intervensi Gizi Spesifik yang ditujukan pada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan kepada ibu sebelum masa kehamilan serta Intervensi Gizi Sensitif yang meliputi berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan yang menyasar masyarakat umum di lokus tertentu.
"Intervensi Gizi Spesifik bersifat jangka pendek dan dilakukan oleh Dinas Kesehatan sementara Intervensi Gizi Sensitif bersifat jangka panjang dan memiliki bobot 70%. Intervensi ini membutuhkan konvergensi multi sektor baik pada tahap perencanaan, penganggaran, penggerakan dan pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian," katanya
Herristanti mengungkapkan, pada tahun 2021 ini terdapat 10 wilayah yang menjadi lokus intervensi penurunan stunting secara terintegrasi, yaitu Kricak, Terban, Pringgokusman, Wirobrajan, Suryodiningratan, Prawirodirjan, Gunungketur,Keparakan, Semaki, dan Rejowinangun. Kesepuluh kelurahan tersebut dipilih berdasarkan keberadaan kelompok Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-Remaja) dan Bina Keluarga Balita (BKB) yang aktif.
"Kegiatan yang dilakukan di lokus meliputi Pengadaan media Komunikasi, informasi, dan Edukasi, Edukasi pengasuhan 1.000 HPK bagi ibu dan keluarga, serta edukasi kesehatan reproduksi dan stunting bagi calon pengantin di kelompok PIK-R," pungkasnya. (ams)