Budi Santoso, Merajut Keharmonisan Masyarakat Lewat Pendekatan Humanis

Beliau menunggu di ruang Kepala Bagian Tata Pemerintahan, Balai Kota Yogyakarta pada siang hari Rabu (10/3/2021). Senyumnya mengembang ramah sembari mempersilahkan masuk ke ruang rapat sebelah, “Mari Dik, kita bercakap-cakap di sini saja” ujarnya.

Karir sebagai aparatur sipil negara (ASN) telah dijalani Budi Santoso hampir genap 22 tahun. Sepanjang waktu tersebut, wilayah kerjanya lebih banyak berada di berbagai kelurahan dan kecamatan Kota Yogyakarta.

“Saya awal dari staf di kelurahan, lanjut sebagai kepala seksi pemerintahan di kelurahan juga. Habis itu perlahan naik jadi sekretaris lurah, lurah, sekretaris camat, sampai jadi camat tiga kali. Empat tahun di Danurejan, lalu setahun di Mergangsan, dan terakhir setahun di Gondomanan.”

Perjalanan karir di wilayah, telah dijalani Budi Santoso (48) begitu lama. Bisa dikatakan 95 persen waktu pengabdiannya selama menjadi ASN dilalui di tengah-tengah masyarakat.

Awal 2021 ini, Budi Santoso dipindahkan ke bagian Tata Pemerintahan (Tapem). Belum genap tiga bulan, kini Budi Santoso berganti posisi sebagai Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta (Bakesbangpol).

“Perjalanan karir tidak ada yang bisa menyangka, Dik. Saya selalu bersyukur karena dapat kesempatan silaturahmi dengan banyak orang di Kota Yogyakarta. Mulai dari dulu jadi staf di kelurahan sampai sekarang sebagai kepala badan yang cakupannya jauh lebih luas lagi,” ujarnya.

Bapak tiga anak ini begitu menggemari silaturahmi. Dia tidak sungkan bertegur sapa dengan siapa saja. Mulai dari tokoh masyarakat sampai ke penduduk di perbatasan  wilayah administrasinya. Hal itu merupakan prinsip yang telah dipegangnya sejak lama.

“Kita harus tahu batas-batas wilayah sampai pada siapa yang mendiaminya. Karena melihat dan mengenal langsung, kita jadi benar-benar paham terhadap masalah apa yang tengah terjadi. Hal itu penting  agar kita bisa benar-benar bekerja memberikan pelayanan kepada masyarakat.”

Berkaca dari pengalaman lapangan, pekerjaan di wilayah bisa sangat melelahkan. Penyebabnya lebih kepada situasi-situasi informal atau darurat yang mengharuskan partisipasi aparat pemerintah. Seringkali waktu pribadi atau keluarga harus dikorbankan untuk mengurusi situasi-situasi informal atau darurat tersebut.

“Hal itu bukan masalah. Sudah sejak awal sebelum menikah, sudah komitmen sama istri. Kita tidak berbicara soal frekuensi bertemu atau durasinya, tapi lebih kepada membangun hubungan yang berkualitas,” lanjut Budi.

Bukan tanpa alasan Budi menjawab demikian. Istri beliau juga memiliki kesibukan luar biasa sebagai dosen pengajar di Fakultas Farmasi UGM. Bahkan pernah karena tuntutan profesi, istri diharuskan untuk tugas belajar ke luar negeri selama empat tahun.

“Selama empat tahun itu juga saya double posisinya. Satu sebagai camat, yang kedua jadi ketua penggerak PKK. Belum lagi sebagai peran ganda di rumah sebagai seorang bapak dan pengganti ibu yang bisa ditemui anak-anak secara tatap muka.”

“Kita itu yang penting menekankan pada kualitas hubungan. Hal itu yang saya tanamkan dalam relasi kita bersama warga. Baik itu dengan tokoh masyarakat atau warga yang boleh dikatakan butuh pembinaan,  tetap harus didekati. Dari situ kemudian ada kesamaan rasa baik itu persahabatan, persaudaraan, atau yang lebih penting lagi senasib dan sepenanggungan” lanjut Budi.

Mengingat lingkup pergaulan yang luas sebagai seorang mantri pamong praja dan kini kepala badan di pemerintahan, Budi menekankan resep untuk dapat merangkul orang-orang dari latar belakang berbeda. Apalagi kini tingkat heterogenitas penduduk di Kota Yogyakarta jelas berbeda dan meningkat jauh dibandingkan 10 tahun lalu.

Resep itu adalah “pendekatan humanis, pendekatan personal, dan pendekatan langsung”. Pendekatan humanis ini bisa dikatakan dalam lema lain adalah “memanusiakan manusia”. Artinya kita memperlakukan siapa saja selayaknya seorang manusia yang egaliter, berpegang pada nilai-nilai keadilan, serta penuh rasa persaudaraan.

“Sekarang kita juga sedang mempersiapkan program pembekalan wawasan politik dan kebangsaan pada pemilih pemula. Yaitu anak-anak usia SMP yang satu atau dua tahun lagi akan lulus sekolah dan berhak mengikuti pemilihan umum. Jangan sampai mereka apolitis karena di situ, adik-adik tersebut juga punya hak untuk menentukan jalannya pemerintahan,” lanjut Budi.

Namun karena pandemi, program tersebut akan dijalankan dengan Zoom. Pematerinya dipilih dari dewan yang sesuai atau representatif di kalangan anak muda. Anak muda juga dipersilahkan berpartisipasi, biarkan berekspresi dengan cara komunikasi a la mereka sendiri.

Tidak berhenti sampai di situ saja, Budi Santoso juga tengah mempersiapkan  upaya stabilisasi gejolak politik dan sosial di masyarakat. Upaya tersebut dilakukan dengan membentuk jejaring bernama Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM).

“Kita buat jejaring, sehingga berbagai simpul dan elemen dalam masyarakat dapat terlibat. Harapannya informasi dapat diterima sejak dini sehingga kita bisa menilainya sebagai kerawanan atau potensi. Kalau sifatnya rawan, segera kita redam. Namun kalau mengandung potensi positif pada masyarakat, segera kita dukung.”

Terdengar suara dering telepon dari smartphone . “Dik, kita sambung lain waktu ya. Ada acara penting yang harus saya ikuti. Senang dapat berbincang seperti ini. Jangan lupakan untuk selalu berupaya memberikan sumbangsih pada masyarakat dan Kota Yogyakarta,” tutup Budi Santoso.  Tidak lupa dengan ciri khas beliau tersenyum. Karena kegemaran tersenyum itu, orang-orang yang akrab dengannya menjuluki Budi Santoso sebagai “Smile Man”. (Fjr)