PRA Jamin Hak Anak Dalam Sistem Peradilan ABH
Dinas Pemberdayaan Perempua, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta melalui Komisi Perlindungan Anak (KPAID) Kota Yogyakarta menginisiasi Rintisan Polsek Ramah Anak (PRA) di Kota Yogyakarta. Adanya rintisan PRA tersebut berdasarkan angka kekerasan terhadap anak yang semakin lama semakin meningkat, setidaknya Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sekitar 4.116 kasus kekerasan pada anak pada periode 1 januari 2020 hingga 31 Juli 2020.
Dalam laporan tersebut, anak sebagai pelaku maupun korban jumlah Anak Berhadapan Hukum (ABH) semakin tahun semakin meningkat. Sementara data kekerasan terhadap anak sampai dengan 18 Agustus 2020 tercatat sebanyak 4.833 kasus kekerasan terhadap anak. Hal ini berdasar Sistim Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).
Kepala DP3AP2KB Edi Muhammad mengatakan, tujuan diadakannya PRA di Kota Yogyakarta ini adalah untuk melaksanakan sistem peradilan ABH yang lebih menjamin terpenuhinya hak-hak anak selama proses penyidikan dilaksanakan. Dengan harapan, anak tetap dapat memperoleh hak-haknya.
“Walaupun menerima kasus, anak tetap harus merasakan efek jera dari tindakan perbuatannya. Pada dasarnya yang paling penting adalah adanya pendekatan psikologis yang dapat membangun karakter baik anak selama proses penyidikan, sehingga anak tidak lagi ingin mengulangi perbuatannya, tanpa meninggalkan hak-hak dasar anak yang telah kita ratifikasi dalam konvensi hak anak,” ungkapnya.
Dengan banyaknya kasus seperti diatas DP3AP2KB Kota Yogyakarta bersama KPAID Focus Group Discussion (Fgd) Rintisan PRA di Kota Yogyakarta pada 18 Maret 2021 beberapa waktu lalu untuk mematangkan PRA di Kota Yogya. Ketua KPAID Kota Yogyakarta, Sylvi Dewajani mengatakan, salah satu hak anak yang harus dijamin adalah termasuk pada kasus ABH, dimana anak ini melakukan tindakan pidana pelanggaran seperti mencuri, kekerasan pisik, penganiayaan, tawuran berkembang menjadi kejahatan jalanan.
“Pada dasarnya ABH ini adalah juga korban yang berasal dari sistem pola asuh anah yang kurang maksimal dalam menstimulasi tumbuh kembangnya. Sehingga mempengaruhi perkembangan anak. Oleh karenanya, dalam usia perkembangan yang masih dilindungi oleh UU, maka ABH ini dalam menjalani proses hukum yang ada harus pula dijamin atas terpenuhinya hak-hak anak, sebagaimana tertuang dalam UU 35 Tahun 2014 pada pasal 59 maupun 64,” Kata Sylvi Dewajani saat di wawancara pada Rabu (14/4/21).
Tentu saja kegiatan yang akan dilakukan ini melibatkan Pemerintah Daerah dan Institusi Kepolisian, yang merupakan penanggung jawab dalam sinergitas PRA nantinya. “Semua kondisi atas kasus yang berhubungan dengan ABH pasti memerlukan PRA,” tambahnya.
Sylvi berharap, dengan adanya PRA tersebut, dalam kelembagaan Polsek, diharapkan ada aturan dan dana serta kemitraan saling bersinergi bersama beberapa lembaga lain, terkait pemenuhan dan perlindungan Hak Anak. Seperti adanya kerjasama dengan Puskesmas yang memiliki layanan psikolog khusus anak, serta dengan lembaga perlindungan anak yang terlah terbentuk di Yogyakarta seperti PATBM, Sigrak, dan Satgas PPA. (Hes)