Seniman Tak Lekang Jaman, Didik Nini Thowok
Kelurahan Kricak dikenal sebagai salah satu Kelurahan Budaya di Kota Yogyakarta, selain karena banyak ragam kesenian yang tumbuh di sana, beberapa tokoh seniman juga tinggal dan hidup di Kelurahan Kricak, salah satunya adalah Didik Hadiprayitno atau lebih dikenal dengan Didik Nini Thowok.
Siapa yang tak mengenalnya, pria yang ramah ini adalah sosok seniman yang cukup melegenda di Indonesia bahkan dunia. Padahal, tak banyak orang yang tahu bagaimana seorang Didik berjuang dalam hidupanya.
Kehidupan masa kecilnya penuh dengan keprihatinan, Ayah Didik adalah penjual kulit kambing dan sapi, sementara Ibunya adalah pedagang sembako di Pasar Kayu. Maka keluarga Didik harus hidup pas-pasan. Selain tinggal bersama kedua orang tuanya, Didik juga tinggal bersama Kakek dan Neneknya.
Sebagai anak dan cucu pertama, Didik selalu dimanja oleh seluruh anggota keluarganya. Selain itu, sejak kecil ia selalu sopan dan berkelakuan baik tidak seperti kebanyakan anak laki-laki seusianya.
Didik cenderung menyukai beberapa permainan seperti pasaran, masak-masakan, dan ibu-ibuan. Sejak kecil Didik telah diajari oleh Neneknya beberapa keterampilan seperti menjahit, menisik, menyulam, dan merenda.
Pemilik Sanggar Natya Lakshita ini merasakan betul bagaimana proses menjadi ‘seseorang’ yang saat ini dikenal dunia. Dua tahun setelah lulus SMA, Didik bertekad untuk kuliah di ASTI dengan berbekal uang tabungannya.
Ia menceritakan untuk menjadi mahasiswa ASTI saat itu sebelumnya ada semacam lomba. Berkat Tari Manipuri, tarian wanita yang diperankannya dengan begitu cantik, Didik berhasil memikat tim juri ASTI. Sehingga Didik diterima dan dinyatakan sebagai mahasiswa ASTI.
"Masuk ASTI itu tahun 74. Lulus sarjana muda tahun 77. Jadi mahasiswa teladan tahun 76," kata pria yang tinggal di Perumahan Jatimulyo Baru Blok G no 14, Kelurahan Kricak, Kemantren Tegalrejo ini.
Beberapa bulan setelah mulai kuliah, Didik menerima tawaran dari kakak angkatannya, Bekti Budi Hastuti untuk membantu dalam fragmen tari Nini Thowok bersama Sunaryo. Nini Thowok atau Nini Thowong adalah semacam permainan jelangkung yang biasa dimainkan masyarakat Jawa tradisional.
Didik terus mengembangkan kemampuan tarinya dengan berguru ke mana-mana. Didik berguru langsung pada maestro tari Bali, I Gusti Gde Raka, di Gianyar. Ia juga mempelajari tari klasik Sunda dari Endo Suanda, tari Topeng Cirebon gaya Palimanan yang dipelajarinya dari tokoh besar Topeng Cirebon, Ibu Suji. Saat pergi ke Jepang, Didik mempelajari tari klasik Noh (Hagoromo), di Spanyol, ia pun belajar tari Flamenco.
"Menari adalah salah satu langkah dan upaya yang saya lakukan untuk melestarikan tradisi nenek moyang. Tarian sudah ada sejak lama, namun tidak banyak generasi muda yang tertarik untuk mempelajari tarian lintas gender ini. Saya berharap dengan ditampilkannya ini para penikmat seni dapat lebih tertarik untuk ikut melestarikan budaya nusantara," ungkapnya.
Tak lupa, diapun belajar tari klasik baik Jawa maupun tari klasik daerah lainnya. Hal inilah yang membuat dirinya memiliki dasar-dasar beragam seni tari, ditambah dengan kemampuan aktingnya membuat tarian yang ia mainkan seolah-olah ‘berbicara’ dengan penontonnya.
Koreografi pertama Didik Nini Thowok adalah Tari Persembahan yang menggabungkan tari klasik Bali dan Jawa. Didik tampil kali pertama sebagai penari wanita berkebaya dan bersanggul saat acara kelulusan SMA tahun 1972. Saat itu, Didik juga mempersembahkan tari ciptaannya sendiri dengan sangat luwes.
Meski telah menjadi legenda dan mendunia, Didik Nini Thowok tetap mengikuti perkembangan jaman. Salah satunya dengan mengikuti aksi Lathi Challenge berdasarkan lagu Lathi karya Weird Genius yang mampu mengundang ribuan komentar dari netizen saat itu.
Didik Nini Thowok ikut menjalankan tantangan tersebut dengan menggunakan keahliannya dalam tari topeng.
Didik bukan hanya mengubah riasan wajahnya sesuai dengan tantangan, tetapi juga menunjukkan sejumlah topeng yang menguatkan aksinya tersebut. Tak pelak, aksinya saat itu membuat dirinya menjadi trending topic media sosial di Indonesia.
Ia juga mengatakan dalam berproses berkarir untuk selalu rendah hati. Ia juga tidak sungkan belajar dari orang yang lebih muda. “Filsafat mbodo itu ada unsur rendah hati, kontrol emosi. Jangan kemlinthi. Itu nasihat kakek saya juga dulu,” ujarnya. (Han)