Pembekalan Penguatan Kapasitas Dukung Kinerja Tim PTPPO

Tim Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menerima pembekalan berupa materi penguatan kapasitas di Ruang Kunthi, Gedung PKK Komplek Balai Kota Yogyakarta. Pembekalan dilakukan selama dua hari yaitu Rabu dan Kamis tanggal 9-10 Juni 2021. Tim PTPPO merupakan bentukan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Yogya melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB).

Pembekalan berupa penguatan kapasitas tersebut dihadiri oleh anggota tim yang terdiri dari perwakilan berbagai instansi kedinasan, seperti Bagian Kesejahteraan Rakyat, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Kesehatan dan Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian.

Acara hari pertama dibuka dengan materi dari Sari Murti Widiyastuti, dosen hukum Universitas Atma Jaya. Sari Murti membawakan materi dengan tema manajemen penanganan kasus.

“Tim harus bisa mengelola dengan mengerti terlebih dahulu jenis-jenis kasus trafiking yang ada. Bentuk-bentuk trafiking yang selama ini sudah kita kenal seperti kerja paksa dan eksploitasi seks, baik itu terhadap orang dengan hubungan kerja semacam pembantu rumah tangga. Ada juga bentuk lain kerja migran, penari, penghibur dan pertukaran budaya. Termasuk pengantin pesanan,” terang Sari Murti.

“Belum lagi terhadap beberapa hubungan berbentuk buruh atau pekerja anak. Bahkan ada juga penjualan bayi. Intinya lebih kepada pemaksaan di luar kehendak korban,” lanjutnya.

Materi selanjutnya dibawakan oleh Sukiratnasari dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Kota Yogyakarta. Tema yang diulas adalah advokasi hukum terhadap korban trafiking.

“Ada tiga hal yang mesti diidentifikasi dalam advokasi korban trafiking yaitu proses, cara dan tujuan. Sedangkan bila kasus menimpa anak di bawah umur atau kurang dari 18 tahun, elemen cara dapat dikesampingkan. Siapa saja yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan atau sosial yang diakibatkan trafiking bisa disebut sebagai korban,” tutur Sukiratnasari.  (Fjr)