Masyarakat maupun aparatur pemerintah yang terlibat dalam perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi pembangunan masih sangat
terkungkung dalam budaya patriarki, secara tidak disadari
tindakan-tindakan yang lahir masih bias gender. Pengkotakan-pengkotakan
peran berdasarkan relasi sosial bahwa perempuan ”pekerja domestik” dan
laki-laki melakukan kerja di luar rumah masih terdapat dalam masyarakat
dan secara tidak sadar masih didukung oleh para pengambil kebijakan.
Hal itu terungkap dalam ’Orientasi Gender dan Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Anak’ yang diselenggarakan oleh Bagian Kesejahteraan
Masyarakat dan Pengarusutamaan Gender Pemkot Yogyakarta di Hotel
Wisnugraha, Selasa (01/07). Tujuan kegiatan ini untuk memberikan
informasi terkait kesetaraan dan keadilan gender serta bentuk, jenis dan
akibat yang terjadi dikarenakan adanya relasi yang tidak seimbang, selain
itu juga untuk memotivasi masyarakat agar mampu melakukan aktivitas
mandiri untuk menangani kasus kekerasan berbasis gender. Orientasi yang
diikuti oleh 30 orang dari unsur pemerintahan, organisasi sosial
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan pemerhati masalah sosial,
menghadirkan narasumber Ketua Pusat Studi Wanita UGM, Dr Siti Hariti
Sastriani,M Hum; Aktifis perempuan Siti Roswati Handayani,SH dan Hj
Ciptaningsih Utaryo dari Yayasan Werda Mulya.
Selain itu terungkap juga bahwa strategi pengarusutamaan gender berupaya
menjawab adanya ketidakadilan gender dengan mengintegrasikan ”kerangka
analisis gender” yaitu kerangka konseptual yang dilandasi kesadaran
adanya kemungkinan perbedaan kapasitas, potensi, aspirasi, kepentingan,
dan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki, di dalam setiap tahap
proses pembangunan.
Menurut Kepala Kesmas PUG, Dra Sri Adiyanti, Pengarusutamaan gender
penting untuk memastikan apakah perempuan dan laki-laki mempunyai akses
yang sama terhadap sumberdaya, dapat berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, mempunyai kesempatan dan peluang yang sama dalam
melakukan kontrol terhadap pembangunan. Tujuan akhir dari pengarusutamaan
gender adalah mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan gender yang
mengantarkan pada pencapaian kesetaraan dan keadilan gender. Melalui PUG
diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam pembangunan
yang berperspektif gender terhadap rakyatnya akan lebih meningkat,
khususnya dalam mempertanggungjawabkan hasil kinerjanya.
Masih menurut Sri Adiyanti, prinsip-prinsip dasar dalam pelaksanaan
pengarusutamaan gender harus menjadi pemahaman bersama. Prinsip tersebut
antara lain : perbedaan gender bukan pertentangan (konflik) antara
laki-laki dan perempuan; perjuangan kesetaraan gender bukan gerakan anti
dan mengarah pada mendeskreditkan laki-laki; kesenjangan gender merupakan
dampak dari tata nilai budaya, meski perempuan paling banyak dirugikan
(menderita); kerjasama laki-laki dan perempuan diperlukan dalam
mengurangi kesenjangan gender dalam keluarga dan masyarakat; dan,
perubahan tata nilai dan budaya dilakukan secara bertahap dengan
memperkenalkan norma baru yang lebih rasional, lebih baik, dan lebih
manusiawi. (isma)