Geliat Perajin Blangkon Rejowinangun Bangkit di Masa Pandemi 

Subranto (50) terlihat sibuk memasukan jarum tangan pada lipatan- lipatan kain yang dibentuk menjadi blangkon. Sesekali tangannya merapikan lipatan kain yang diletakan pada tumpuan blangkon. Tangannya cukup cekatan mengerjakan jahitan manual satu persatu. Beberapa bulan ini aktivitas Subranto membuat blangkon kembali menggeliat setelah setahun di 2020 berhenti total karena kondisi pandemi Covid-19.

“Selama pandemi tahun lalu, saya berhenti total tidak produksi. Mulai produksi lagi awal- awal tahun 2021,” ujar Subranto di sela membuat blangkon dan menggelar produk saat kunjungan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Kampung Wisata Rejowinangun, Jumat (8/10/2021).

Sebelum pandemi Covid-19, Subranto bisa memproduksi sekitar 60 blangkon per hari bersama 5 orang pekerja. Namun saat pandemi di tahun 2021 produksi tidak menentu, kadang hanya 2 blangkon per hari tapi pernah mencapai sekitar 20-25 blangkon per hari. Pembuatan blangko itu dikerjakan di rumah Subranto di Kampung Pilahan RT 40 RW 12 Kelurahan Rejowinangun, Kotagede, Kota Yogyakarta.

“Penjualan utama ke tempat- tempat wisata seperti di Prambanan dan Malioboro. Tapi selama pandemi berhenti total karena tutup semua tempat wisata. Ada stok barang tapi tidak laku,” paparnya.

Kendati  demikian Subranto tidak berpangku tangan. Dia bersama istrinya mulai mencoba menjual sendiri berbagai jenis blangkon itu melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram. Penjualan pun mulai menggeliat, meski hanya beberapa blangkon. Tapi setidaknya stok blangkon yang telah diproduksinya dapat terjual.

“Saya coba jualan secara online setelah ada pelatihan penjualan lewat online. Awalnya hanya satu dua blangkon yang terjual, sekarang cukup lumayan penjualan online di Facebook dan Instagram,” tambah Subranto.

Tuntutan ekonomi yang membuat Subranto berusaha bangkit kembali memproduksi dan menjual blangkon. Subranto sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus mempertahankan produksi blangkon dari keterampilan yang didapat secara turun temurun.

“Ya tuntutan ekonomi. Harus gimana caranya. Mencoba menjual secara online agar dapat pemasukan,” imbuh bapak berputra dua itu.

Bahan baku untuk membuat blangkon adalah kain jarik maupun ikat dan bagian dalam dilapisi kain keras. Menurutnya kain keras pada lapisan dalam dapat dijahit mesin. Tapi bagian luar hanya bisa dijahit manual menggunakan tangan sehingga prosesnya lama. Keterampilan membuat blangkon Subranto didapat dari pamannya yang juga memproduksi blangkon.

“Butuh ketelatenan dan kesabaran. Untuk bahan baku tidak ada kendala. Tapi secara modal sudah habis. Hasil penjualan stok blangkon untuk kebutuhan makan sehingga tidak bisa untuk memutar produksi. Pesanan juga belum banyak. Kami harap pemerintah ada bantuan modal dan adakan kegiatan- kegiatan agar produksi blangkon bisa tersalurkan,” urai Subranto.

Jenis blangkon yang diproduksi Subranto dengan label Blangkon Jaya itu cukup beragam seperti gaya Yogya, Solo, Sunda dan Jawa Timur. Permintaan blangkon kebanyakan gaya Yogya dan Jawa Timur dari Tulungagung. Harga satu blangkon berkisar Rp 120 ribu untuk penjualan grosir dan Rp 130 ribu- Rp 150 ribu harga ecer.

“Pemasaran masih lokal di Indonesia. Tapi pernah ada pembeli blangkon yang membawa sampai Suriname. Mudah- mudahan pandemi ini segera berlalu, bisa berproduksi, berkreasi dan penjualan lancar sehingga dapat menunjang kehidupan keluarga secara normal,” ucapnya (Tri)