PEMKOT GELAR SARESEHAN PENATAAN KAWASAN MALIOBORO

Kembali Saresehan Komunitas Malioboro digelar Pemkot. Kali ini mengambil
tempat di Ruang Hotel Mendut Hotel Inna Garuda Yogyakarta pada hari Kamis
(19 / 2). Saresehan itu membahas tentang bagaimana mewujudkan kawasan
Malioboro yang indah, bersih dan nyaman. Nyaman tidak hanya untuk
ditinggali tapi juga untuk dikunjungi.Jogja memiliki kekuatan tersendiri.
Setiap musim liburan tetap menjadi daya tarik. Selain itu, juga diadakan
penjaringan pendapat dan pelayangan wacana penataan malioboro masa depan
oleh Pemkot.
Saresehan tersebut diadakan oleh 3 kecamatan di Kawasan Malioboro yaitu
Kecamatan Gedongtengen, Danurejan dan Gondomanan. Ketiga camat hadir saat
itu didampingi oleh wakil dari Dinas Ketertiban. Sebagai narasumber
adalah Budayawan Yogyakarta KRT Jatiningrat atau H.RM. Tirun Marwito, SH
atau lebih dikenal Romo Tirun yang mengungkapan tentang Malioboro memiliki
kekhasan tertentu dari segi sejarah, ekologis dan filosofis kota
Yogyakarta. Narasumber kedua adalah Wakil Walikota Yogyakarta, H. Haryadi
Suyuti yang memberikan wejangan tentang budaya kebersihan dan ketertiban
yang harus dimiliki oleh komunitas Malioboro. Saresehan ini dihadiri oleh
segenap warga Malioboro yang terdiri dari para pengusaha dan pemilik toko,
pedagang kaki lima, tukang parkir, pedagang Pasar Sore dan wakil dari
LPMK. Hampir semua yang diundang datang saat itu membuktikan besarnya
kepedulian warga akan Malioboro. Turut hadir juga Wakil dari Badan
Lingkungan Hidup
Dalam paparannya Romo Tirun menerangkan Sejarah Kota Yogyakarta termasuk
didalamnya bangunan heritage dan budaya yang harus dilestarikan, dan
Malioboro yang bersifat juga multikultural sebagai pusat kegiatan ekonomi
Yogyakrta .Seperti tentang bentuk Tugu Jogja beserta perubahannya hingga
jaman sekarang. Jaman dahulu tugu berbentuk Golong Gilig adalah perlambang
persatuan dan kesatuan antara manusia daengan Allah SWT dan sesama umat
manusia tanpa kecuali bulat dan sempurna. keadaan sekarang dengan
meluasnya pasar hingga di sepanjang jalan Malioboro bermakna adanya
tantangan utama para pemimpin bangsa terhadap persoalan ekonomi. Degradasi
pemahaman budaya secara simbolik tersebut telah terjadi saat perubahan
bentuk tugu oleh penjajah Belanda seperti yang sekarang ini yang
sebenarnya bertentangan dengan idealisme Golong Gilig yang mencita-citakan
adanya persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam paparannya Haryadi Suyuti menunjukkan wajah Malioboro dengan adanya
e-mail dari seorang turis yang merasa kecewa dengan pelayanan sopir taksi
yang memilihkan hotel yang kotor tetapi mahal dan sewaktu makan di lesehan
dengan harga juga mahal. Kejadian tersebut adalah fakta suatu penurunan
kelas dari Malioboro. Wakil Walikota juga memperlihatkan foto tumpukan
sampah di Malioboro karena masih kurangnya budaya bersih. Jumlah wisatawan
menurun kemungkinan dapat disebabkan pandangan masyarakat tentang masalah
kebersihan dan harga yang mahal. Ini membuktikan Malioboro tidak terjaga
termasuk oleh pemerintah. Maka persepsi semua pihak harus disamakan untuk
memperbaiki kesalahan warga Malioboro itu sendiri.
Sebagai pusat pengembangan kota regional DIY pembangunan di bidang sosial
ekonomi dan budaya, maka setiap pengembangan harus dilaksanakan bersama,
melibatkan semua pihak terutama komunitas Malioboro itu sendiri. Demikian
imbuh Wakil walikota, "Komentar tentang Malioboro baik dan buruknya sudah
banyak. Tentunya kita akan lebih mengetahui jati diri kita semua harus
ikut memiliki bertanggung jawab dan melakukan koreksi terhadap Malioboro
untuk kebaikan bersama". (byu)