Macapat Senja di Malioboro Antusiasme Generasi Muda Lestarikan Budaya

Macapat sering kali dikenal sebagai seni sastra tembang puisi tradisional Jawa yang hanya dinikmati oleh kalangan orang tua saja. Tapi lain halnya dengan tumbuh kembang kesenian macapat di Kota Yogyakarta, di mana Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta dengan master plan Gandeng Gendong yang melibatkan unsur 5K yaitu korporasi, komunitas, kampus, kampung dan kota dalam melestarikan budaya lokal temasuk seni tembang macapat.

Macapat Senja di Malioboro adalah salah satunya, sebuah acara yang digelar Dinas Kebudayaan (Disbud) Kota Yogyakarta dikonsep dengan melibatkan para seniman, akademisi, dan masyarakat dalam melestarikan dan membudayakan kebudayaan macapat. Macapat Senja di Malioboro memiliki arti untuk menghidupkan kebiasaan menggunakan budaya lokal sekaligus mendekatkan masyarakat dengan seni tradisi.

Pementasan macapat klasik dan kontemporer dikonsep dengan lebih segar dan lebih bisa merangkul selera anak-anak muda. Gelaran Macapat yang dikemas dalam format kekinian ini menampilkan seniman muda pelestari budaya. Macapat senja digelar untuk mempertahankan eksistensi tembang Macapat di kalangan generasi muda.

Dalam pelaksanaannya pada Selasa (28/6) di Teras Malioboro 2 (dua) sebanyak 50 (lima puluh) orang pelaku seni yang terlibat adalah generasi muda. Mulai dari kelompok anak muda jawara macapat, seniman macapat muda tamansiswa, Danang Fitrianto, Maria Ratna Anggraini Santoso, Sri Yuwaningtyas Sukma Putri, Anggraini Puspita Imani, Rahmat Edhy Purnomo dan Rizki Nur Hakiki serta Macapat Freestyle oleh kelompok Mantradisi berkolaborasi dengan Paksi Raras Alit. Sedangkan dari kalangan akademisi melibatkan Dosen UIN Sunan Kalijaga yang juga merupakan bagian dari Komunitas Jagongan Naskah Muhammad Bagus Febriyanto, serta Dosen Prodi Sastra Jawa UGM Rudy Wiratama.

Macapat Freestyle dihadirkan dalam gelaran Macapat Senja di Malioboro sebagi inovasi untuk mengemas seni macapat yang lebih kekinian dan bisa dinikmati oleh lebih banyak kalangan. Para seniman selama kurang lebih satu jam, berkeliling di kawasan Teras Malioboro 2 untuk membuat lirik-lirik tembang macapat berdasarkan sumbangan ide dari para pedagang dan pengunjung serta wisatawan.

Hanya dalam waktu satu jam, tercipta tiga tembang macapat freestyle hasil kolaborasi seniman serta masyarakat umum yang mewakili pikiran dan pendapat yang ingin disampaikan seputar keindahan Kota Yogyakarta, rasa rindu untuk kembali ke Yogya, dan pesan yang ingin diutarakan supaya Kota Yogya menjadi semakin baik lagi. Tiga tembang tersebut kemudian dikoborasikan dengan sentuhan musik dari Mantradisi dan Paksi Raras Alit, menjadi sajian seni Jawa yang kental dari diksinya dan nikmat didengar dengan aransemen musik modernnya.

Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta Aman Yuriadijaya mewakili Pemkot Yogyakarta memiliki keseriusan dan konsen pada kegiatan yang mendukung pelestarian seni dan budaya termasuk kesenian tembang macapat. Menurutnya Macapat Senja di Malioboro merupakan kegiatan inovatif dan kontekstual dengan upaya pelestarian budaya lokal di era sekarang. Di mana dari segi konsep acara dan pemilihan lokasi pementasan bisa menyasar segmen yang lebih luas.

“Ketika tujuannya untuk mengenalkan macapat ke khalayak yang lebih luas, maka pemilihan lokasi di Teras Malioboro 2 ini sangat tepat. Banyak pengunjung atau wisatawan baik yang dari Jawa ataupun luar Jawa, yang tadinya tidak tahu kemudian bisa menikmati tembang macapat dalam kemasan yang kekinian dan setelah itu terstimulus untuk mencari tahu lebih lanjut apa itu macapat,” ujar Aman.

Sejalan dengan itu, Muhammad Bagus Febriyanto dan Rudy Wiratama sebagai perwakilan dari kalangan akademisi dan praktisi mengapresiasi dan mendukung penuh upaya Pemkot Yogyakarta dalam mengenalkan dan melestarikan seni macapat ke masyarakat umum khususnya generasi muda melalui gelaran acara Macapat Senja di Malioboro.

Bagus menyampaikan pementasan dengan konsep yang lebih kekinian pada akhirnya bisa melunturkan stigma bahwa budaya lokal itu hanya milik kalangan orang dulu atau orang tua saja. Justru kemasan event yang menyesuaikan dengan selera anak muda kebanyakan, pada akhirnya bisa diterima dan muncul kesadaran dan ketertarikan untuk mendalami serta ikut secara aktif menjadi agen pelestari budaya itu sendiri.

Sementara itu Rudy mengutarakan bagaimana sebetulnya tembang macapat bisa digunakan sebagai media kreativitas anak muda untuk menghasilkan produk budaya yang inovatif. Menurutnya tembang macapat tidak harus kaku pada konteks yang terlalu serius, tapi bisa juga dikembangkan pada konteks yang lebih jenaka, tembang permainan, ataupun untuk mengutarakan curahan hati anak-muda kebanyakan. (Jul)