Peringatan Hari Ibu : Perempuan Berdaya dan Berkarya Lewat Kain Jumputan

Tanggal 22 Desember, merupakan Peringatan Hari Ibu di Indonesia yang pertama kali diperingati pada tahun 1938. Sebagai peringatan momen atas terselenggaranya kongres perempuan pertama di Dalem Jayadipuran, Yogyakarta pada 22 Desember 1928. Peringatan Hari Ibu merupakan bukti atas tonggak sejarah perjuangan perempuan, sebagai bagian dari perjuangan bangsa. Begitu juga sebagai momentum meneruskan perjuangan dan bergerak bersama secara nyata, meningkatkan kualitas hidup perempuan di Indonesia.

Sebagai makhluk yang sejak lahir dianugerahi hak asasi manusia, baik perempuan ataupun laki-laki memiliki kebebasan atas pilihannya untuk menjalankan peran pada ranah publik dan domestik. Tapi nyatanya sejauh ini masih banyak perempuan yang belum memiliki kesempatan untuk menjalani peran tersebut secara beriringan dan setara. Sebab belum meratanya pembagian peran gender pada lembaga terkecil yaitu keluarga, serta lembaga lebih besar setelahnya.

Begitu juga dengan Siti Masamah, seorang perempuan dan Ibu lima anak kelahiran tahun 1965 ini adalah pemberdaya kesejahteraan perempuan di Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta. Dirinya menjadi perempuan penggerak yang aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas dan kemandirian perempuan di wilayahnya, untuk lebih berdaya dengan berkarya melalui kain jumputan, sejak tahun 2016. Menurutnya menjadi seorang Ibu bukan berarti tidak memiliki kesempatan untuk berkarya sesuai dengan minat dan kemampuan yang dipunyai.

“Kita jadi perempuan itu kan pasti punya keinginan, ketika jadi Ibu ya memang ada yang diprioritaskan. Tapi bagaimana kita bisa komunikasi dengan pasangan, membagi peran di rumah, dan punya tekad untuk mengembangkan diri kita, nanti pasti ada saja jalannya,” ujarnya saat ditemui di Selasar Kelurahan Cokrodiningratan, pada Kamis (15/12).

Berdaya melalui Kain Jumputan

 

Kelompok Jumputan Srikandi Cokro, itulah yang Siti Masamah bentuk bersama 20 Ibu Rumah Tangga lainnnya di RW 03 Kelurahan Cokrodiningratan. Pada mulanya mereka mendapat pelatihan kreasi kain jumputan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta di tahun 2015. Dirasa memiliki peluang dan bisa menjadi kesempatan untuk menghasilkan karya, akhirnya mereka mendalami sendiri soal kain jumputan.

“Dulu itu dapat pelatihan satu kali, terus Ibu-Ibu di sini merasa tertarik dan akhirnya ya kita belajar lagi sendiri, mengulik soal jenis kain yang cocok, pola ikatan kain, teknik pewarnaan, dan ya sampai bisa produksi sendiri. Hasil yang kami buat mulanya dibawa ke tiap kegiatan perkumpulan, ternyata banyak yang tertarik. Kemudian terus berkembang, pemasarannya mulai memanfaatkan media online, Alhamdulillah peminatnya banyak,” tuturnya.

Anggota dari Kelompok Jumputan Srikandi Cokro, mayoritas adalah Ibu Rumah Tangga, yang dalam aktivitasnya bisa memproduksi kain jumputan di sela waktu seiring menjalankan perannya yang lain. Mungkin orang lain akan menilai ini adalah aktivitas biasa, hanya aktivitas sekelompok Ibu-Ibu di kampung untuk berkumpul dan membuat prakarya. Tapi bagi Kelompok Jumputan Srikandi Cokro, ini merupakan kesempatan mereka untuk menjadi manusia seutuhnya.

“Kalau pas kumpul itu, kami semua ya merasa senang, bisa melakukan apa yang jadi keinginan kami. Ya mungkin kalau dilihat biasa saja, karena memang kain atau batik jumputan itu tidak serumit batik tulis. Tapi melalui kain jumputan ini kami bisa berkarya, merasa punya harapan untuk menjalankan peran lain dan tentunya jadi bisa lebih mandiri karena punya penghasilan dari sini,” ungkapnya.

Dari Arisan hingga Pameran

Pada mulanya pembeli produk kain jumputan dari Srikandi Cokro ini hanya dari orang-orang terdekat. Seperti kerabat atau rekan satu kelompok arisan dan pengajian di kampung. Tapi seiring berjalannya waktu, kualitas kain jumputan yang dihasilkan makin banyak peminatnya. Hingga di tahun 2021 ditetapkan sebagai Sentra Kain Jumputan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta.

“Sekarang sudah jadi sentra, jadi kami yang tergabung di kelompok ini juga membagikan pengalaman dalam memproduksi kain jumputan ke wilayah lain. Kalau pemasarannya kami dipercaya oleh Pemkot Yogyakarta untuk ikut serta dalam setiap pameran produk UMKM. Jadi peminatnya lebih luas dan relasi yang terbangun juga semakin bagus,” jelas Siti Masamah.

Produk yang dihasilkan oleh Kelompok Jumputan Srikandi Cokro tidak hanya kain jumputan dengan berbagai pola dan warna saja, tapi juga dikombinasikan dengan batik tulis, ecoprint, dan shibori. Bahkan juga diproduksi dalam bentuk kaos untuk memenuhi permintaan pasar terutama di kalangan anak muda.

“Anggotanya sudah lebih dari 20 orang, memang tidak terlalu besar, tapi pemasarannya tidak hanya di wilayah Yogyakarta saja, melainkan juga sudah merambah ke kota-kota besar seperti Jakarta, Banten-Jawa Barat, sebagian kota di Jawa Tengah, dan pulau Sumatera serta Kalimantan. Kalau harga setiap potong tergantung pada motif kain, semakin sulit tingkat pengerjaanya seperti lebih dari satu warna dan memakai bahan kain yang kualitas bagus seperti primisima dan sutra, antara Rp 130 ribu hingga Rp 200 ribu,” paparnya.

Bagi Siti Masamah, menjadi penggerak Kelompok Jumputan Srikandi Cokro adalah bagian dari jalan hidupnya. Sebagai sesama perempuan, saling dukung dan memberdayakan adalah bagian dari memperjuangkan haknya sebagai manusia yang merdeka. Selamat Hari Ibu, terima kasih untuk perempuan-perempuan Kota Yogyakarta. Teruslah berdaya dan saling memberdayakan untuk mencapai kemandirian dalam banyak hal. (Jul)