Endang Rohjiani Kisah Pejuang Lingkungan dan Kepedulian Keluarga

Setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu, dimana peringatan ini merupakan suatu perayaan bagi semua ibu atas cinta dan kasih sayangnya yang selalu diberikan terhadap anak-anaknya. Selain itu peringatan Hari Ibu juga menjadi wujud perjuangan emansipasi wanita di negeri ini.
 
Menjadi seorang ibu, kini tidak lagi hanya sebatas mengurus rumah tangga dan buah hati. Seiring berkembangnya jaman, ibu-ibu masa kini tetap bisa meraih cita-cita tanpa mengurai segala peran utamanya.
 
Ibu tidak lagi hanya berada di rumah dan mengurus segala urusan rumah tangga, tetapi juga bisa berkarya dan mengejar impian dan harapan mereka. Ya benar, menjadi ibu rumah tangga bukan berarti berhenti berinovasi.
 
Ada banyak cara yang bisa dilakukan ibu rumah tangga untuk membantu suami mencari nafkah. Banyak wanita tangguh yang sibuk mengurus anak tetapi masih bisa multitasking dan disiplin dalam karir atau usahanya.
 
Sosok wanita ini adalah Endang Rohjiani. Warga Kelurahan Bumijo, Kemantren Jetis ini adalah salah satu dari sejumlah wanita Indonesia yang menjalani peran gandanya sebagai aktivis lingkungan sekaligus ibu dari anak-anak kesayangannya.
 
Diluar kegiatannya mengurus anak, ia melakukan kegiatan budidayakan maggot yang ia namakan Kandang Maggot Jogja yang berlokasi di RT 61 RW 01 Kricak Tegalrejo. Budidayanya ini sudah ia tekuni selama satu setengah tahun.
 
Bagi yang belum tahu, maggot adalah larva dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF) atau Hermetia Illucens dalam bahasa Latin.
 
"Saya budidaya magot hampir satu setengah tahun, awalnya saya mencoba sendiri dirumah, kemudian saya beranikan diri untuk mengelola secara komunal," bebernya saat ditemui belum lama ini.
 
Meski baru berjalan satu setengah tahun, aktivitas itu bisa menekan pembuangan dua ton sampah organik per hari. Maggot ini biasanya untuk pakan ikan dan unggas. Dalam membudidayakan maggot dibutuhkan pakan dari sampah-sampah organik makanan sisa seperti sayuran, buah-buahan, telur dan lainnya. 
 
Endang menceritakan lahirnya kandang magot jogja lantaran TPA Piyungan kerap mengalami overload/kelebihan muatan, dari overload tersebut banyak masyarakat yang membuang sampahnya ke sungai.
 
"Itulah kenapa kita memilih membuat pengelolaan sampah dengan biokonversi maggot BSF, dari situ kami mencoba ikut menjawab setidaknya apa yang bisa kita lakukan,” terangnya.
 
Dalam proses budidaya tersebut, Endang lebih dulu menampung sampah organik warga, berupa sisa makanan, atau sampah dedaunan. Dari 13 RW yang terlibat, ia mampu mengumpulkan 300 kilogram sampah organik per hari.
 
"Saat ini, seluruh RW di Kelurahan Kricak, yakni 13 RW, sudah bekerja sama dengan Kandang Maggot Jogja untuk menyetorkan sampah dapur untuk diolah," bebernya.
 
Selain budidaya magot, Endang juga aktif di Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA), bahkan ia menjadi ketuanya. Sebagai informasi FKWA merupakan wadah yang cukup besar dan saling bersinergi dari hulu sampai hilir sungai Winongo 
 
Salah satu kegiatan FKWA adalah merubah titik-titik sampah menjadi ruang terbuka hijau, tak sampai disitu setiap tahun pihaknya melakukan penanaman sengon di sempadan Sungai Winongo.
 
Selain itu forum ini juga membuat sekolah sungai yang bertujuan untuk memberikan informasi dan mengedukasi masyarakat dari semua kalangan terhadap pentingnya kelestarian sungai.
 
Dengan adanya sekolah tersebut harapannya menjadi wadah untuk mengedukasi anak-anak dan pelajar agar tahu kualitas air sungai. Mulai dari pengamatan dengan metode biotilik yaitu dengan melihat biota yang ada di Sungai Winongo.
 
Kecintaan Endang terhadap lingkungan terutama pada sungai Winongo ini dapat terlihat dari senyuman yang terpancar di wajahnya. Ia tersenyum ketika sungai Winongo terlihat bersih dan tak ada sampah disepanjang aliran sungai tersebut.
 
Namun Endang bisa jadi sangat murung begitu ia melihat Sungai yang membelah Kota Yogyakarta ini kotor. “Saya pengin sungai ini bersih dari sampah dan mengalir seperti jaman dulu," katanya.
 
Selama masih berurusan dengan sungai, perempuan ini sepertinya tak mengenal letih. Maka tak heran banyak orang yang menjulukinya sebagai ratu Winongo.
 
Dua Peran yang Saling Mendukung
 
Di jaman sekarang, perihal peran ganda seorang ibu jadi hal lumrah. Peradaban memang menuntut demikian, setidaknya hal tersebut berlaku bagi Endang. Lingkungan dan organisasi adalah kecintaannya. Sementara rumah tangga dan anak-anak adalah anugerah sekaligus tanggung jawab yang musti dipikul.
 
Menurutnya, menjadi seorang ibu adalah tugas yang harus dijalankan 24 jam selama 7 hari. Tetapi, bukan berarti menjadi seorang ibu lantas harus rela meninggalkan mimpi dan cita-citanya.
 
Baginya, keduanya harus berlaku penting. Ia tak ingin meninggalkan suami dan ketiga anaknya, sekaligus juga tak mau melepaskan kegiatan sosial yang dicintainya. Toh, baginya, selalu ada kesenangan dalam tiap perjalanan yang dilaluinya.
 
Beruntung sang suami memberinya kebebasan untuk tetap beraktivitas diluar selama keluarga tetap jadi prioritas. Berbagai strategi ia terapkan untuk tetap dekat dengan ketiga anaknya.
 
Meski Endang tidak selalu ada untuk suami dan ketiga anaknya selama 24 jam, namun ia selalu mempunyai waktu khusus untuk mereka. "Dekat dengan anak itu bukan berarti kita menemani mereka selama 24 jam, tetapi bagaimana memanfaatkan waktu yang tepat untuk mereka," katanya.
 
Endang juga telah membiasakan anak anaknya sejak mereka kecil ketika waktu magrib tiba, mereka harus sudah ada dirumah. "Minimal ketika jam makan malam tiba, kami bisa berkumpul bersama dan disitulah kami sharing kegiatan kita selama sehari itu," ungkapnya
 
Selain sebagai Ibu, Endang juga memposisikan dirinya sebagai teman untuk anak-anaknya. "Saya memposisikan anak sebagai teman diskusi, jangan menganggap anak itu tidak tahu, dengarkan apa kata mereka, jangan pernah arogan kalau orang tua itu selalu benar," urainya.
 
Tak sampai disitu, sejak anaknya kecil, Endang selalu mengajak berbicara terkait hak dan kewajiban. "Apa yang menjadi kewajiban anak, dan bagaimana kita sebagai orang tua memenuhi hak anak," katanya.
 
Menjalani peran ganda sebagai aktivis lingkungan dan ibu rumah tangga terbilang berat dan penuh pengorbanan. Namun Ia selalu berusaha untuk sebisa mungkin gairahnya pada dunia sosial dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Endang tak mau menelantarkan salah satunya.
 
Sebagai seorang ibu, ia juga belajar banyak soal mengontrol emosi. Apa yang dipelajarinya saat berperan sebagai seorang ibu menular pada dunia sosialnya. "Wanita harus berpendidikan tinggi, karena nantinya akan menjadi Ibu, ibu adalah pendidik pertama anak-anak, jadi wanita itu harus pintar," bebernya.
 
Endang tak hanya matang sebagai seorang profesional yang kemampuannya sudah teruji, tapi juga segi emosional saat bekerja yang sudah teruji.
 
Endang adalah salah satu contoh sosok ibu yang kuat dan hebat yang kerap memberikan senyum terbaik untuk anak-anaknya. Bukan hanya itu, dibalik senyuman itu ada berjuta-juta cinta yang tak bisa diungkapkan lewat kata.
 
Semoga cerita Endang Rohjiani ini memberikan inspirasi, bahwa menjadi seorang ibu bukan berarti tidak bisa meraih mimpi dan cita-cita mereka. Walaupun tentu saja, jalan yang diarungi tidaklah mudah karena mereka harus banyak membagi waktu antara urusan rumah dan pekerjaan.
 
Untuk seluruh ibu-ibu di luar sana, selamat Hari Ibu! Surga kami ada ditelapak kakimu. (Han)