Ayo Pilah Sampah, Mulai dari Rumah  (Seri 1)

Apakah benar Yogya darurat sampah? Beberapa kali kejadian sampah menumpuk berhari-hari di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di Kota Yogyakarta akibat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan tutup. Yogya darurat sampah kian di depan mata karena diperkirakan daya tampung TPA Piyungan hanya sampai pertengahan 2023. Untuk itu pengelolaan sampah harus menjadi tanggung jawab semua masyarakat selaku produsen sampah.

Menyikapi kondisi tersebut Pemerintah Kota Yogyakarta mengajak masyarakat untuk melaksanakan gerakan zero sampah anorganik mulai Januari 2023. Gerakan itu diperkuat dengan adanya Surat Edaran (SE) Walikota Yogyakarta Nomor 660/6123/SE/2022 tentang gerakan zero sampah anorganik. Lalu apa yang harus dilakukan masyarakat dengan gerakan zero sampah anorganik? Tim Liputan Khusus Warta YK mengkonfirmasi  ke Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta.

“Sebenarnya kalau kita berbicara sampah itu adalah persoalan kita semua. Di peraturan perundangan sudah disebutkan bahwa warga negara atau masyarakat punya kewajiban untuk mengelola sampahnya sendiri,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, Sugeng Darmanto, ditemui Selasa (20/12/2022).

SE Walikota Yogyakarta tentang gerakan zero sampah organik mendasarkan pada Peraturan Daerah (perda) Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah sebagaimana telah diubah dengan Perda Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2022, diatur bahwa pemerintah daerah, masyarakat dan pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengelola sampah yang timbul dari aktivitasnya sehari-hari.

Sugeng menyebut selama ini produksi sampah di Kota Yogyakarta sekitar 360 ton/hari. Dari jumlah itu yang diserap bank sampah sekitar 2 persen dan pemulung/pelapak sekitar 29 persen, sehingga total volume sampah yang dibawa ke TPA Piyungan sekitar 260 ton/hari. Komposisi sampah tersebut terdiri dari sekitar 55 persen sampah organik dan sekitar 45 persen sampah anorganik.

Menurutnya urgensi gerakan zero sampah anorganik itu berlaku bagi kita semua. Pemkot Yogyakarta memandang urgen atau sangat penting untuk membatasi sampah anorganik agar habis di sumber sampah. Mengingat di Kota Yogyakarta tidak memiliki TPA. Selama ini adanya di TPA di Piyungan Bantul yang sudah menggunakan zona transisi dan berumur teknis perkiraannya akan sampai April 2023.

“Karena kita sama-sama mendukung TPA Piyungan agar umur teknisnya bisa diperpanjang. Maka gerakan ini menjadi suatu hal yang wajib dilakukan oleh kita semua. Termasuk komponen-komponen di rumah tangga, penggerobak, pelapak termasuk juga aktivis lingkungan dan semua yang ada di perkantoran,” terangnya.

Sesuai ketentuan dalam SE gerakan zero sampah anorganik, pengelolaan sampah meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah dan pemanfaatan kembali sampah. Untuk penanganan sampah dilakukan dengan pemilahan, pengumpulan dan penyaluran.

Mengacu SE gerakan zero sampah anorganik, setiap rumah tangga wajib melakukan pemilahan sampah organik dan anorganik. Sampah anorganik hasil pemilahan diutamakan dibawa ke bank sampah masing-masing wilayah. Lalu bank sampah membawa sampah anorganik kepada pelapak sampah. Depo sampah/tempat pembuangan sampah sementara hanya untuk penempatan sampah organik. Sampah anorganik dilarang dibuang di depo sampah/tempat pembuangan sampah sementara.

“Pemilahan itu adalah sesuatu hal yang sifatnya wajib. Kita bisa memilah mana yang organik dan anorganik. Kalau mau lebih jeli lagi, sampah anorganik bisa diderivasikan lebih dari satu jenis sampah anorganik. Misalnya dari plastik, kertas, kain dan sebagainya,” tambah Sugeng.

Sampah organik adalah sampah yang mudah terurai, contohnya sisa makanan, sisa sayuran, sisa dapur dan tanaman. Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang tidak mudah terurai, dapat didaur ulang dan digunakan kembali, misalnya kertas, kaleng, gelas, kardus, logam, dan botol kaca/plastik.

Setelah dipilah, sampah anorganik dibawa ke bank sampah atau pengepul. Sedangkan sampah organik bisa dibawa ke penggerobak sampah maupun ke TPS bagi yang tidak berlangganan penggerobak. Bagi masyarakat yang selama ini sudah mengelola sampah organik sendiri dapat dimanfaatkan.

“Yang organik, ada kalanya rumah tangga mengelola sendiri dimasukan ke lubang biopori basis rumah tangga, ember tumpuk dan losida. Namun organik bisa langsung dibawa ke TPS karena sebenarnya mulai Januari 2023, untuk organik memang tidak dilarang dibuang ke TPS. Yang dilarang adalah anorganik,” jelasnya.

Dari pemilahan sampah akan ada sampah residu yaitu sampah yang tidak mudah terurai, tidak dapat didaur ulang dan perlu pengolahan tertentu, contohnya styrofoam, diapers atau popok, pembalut, puntung rokok dan tisu bekas. Sampah residu itu dapat dibawa penggerobak maupun ke TPS tapi harus sudah dipisahkan sendiri. Sampah residu maupun organik yang dibawa ke TPS bisa dibawa dengan wadah maupun plastik lalu ditumpahkan ke TPS atau bak truk di TPS.

Sugeng menyampaikan sampah residu seperti diapers atau popok dan pembalut itu semestinya dibersihkan dulu dari kotorannya. Kemudian dipilah dan dimasukan dalam wadah dan ditulisi sampah residu. “Sampah yang memang benar-benar residu dipisahkan sendiri dan dibungkus kemudian bisa dititipkan ke penggerobak yang akan komunikasi ke TPS yang dikelola Pemkot Yogyakarta,” imbuh Sugeng.

Diakuinya untuk menjalankan gerakan zero sampah anorganik di masyarakat itu membutuhkan proses. Sugeng mengatakan dalam suatu gerakan ada masa percobaan. Untuk itu rencananya tiga bulan pertama yaitu Januari, Februari dan Maret adalah masa percobaan dan pemantauan awal untuk membiasakan masyarakat dengan gerakan zero sampah anorganik.

“Ketika pada bulan keempat masih ada  masyarakat yang tidak mengikuti aturan yang ada, maka bisa saja pemkot memberikan punishment. Karena sebenarnya bukan surat edaran, tapi di perda sudah diatur. Sebenarnya gerakan ini hanya mengingatkan saja,” tandasnya.(Tri)