Pemkot Fokuskan Kajian Bangunan Cagar Budaya di Kotagede
DANUREJAN-Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan memfokuskan kajian bangunan cagar budaya di wilayah Kotagede pada tahun 2023. Mengingat cukup banyak objek bangunan di Kotagede yang dinilai berpotensi masuk kriteria bangunan cagar budaya. Kajian itu menjadi dasar untuk mengusulkan objek itu ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Kepala Bidang Warisan Budaya Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Susilo Munandar mengatakan setiap tahun target dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) mengkaji bangunan cagar budaya sekitar 20 objek. Untuk tahun 2023 pihaknya sudah melakukan rapat awal dengan TACB dan mengarah fokus di Kotagede.
“Kita konsentrasi di Kotagede. Nanti seluruh potensi yang ada di Kotagede akan kita rampungkan di tahun ini,” kata Susilo ditemui usai meninjau bangunan cagar budaya di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Yogyakarta, belum lama ini.
Dia menyebut objek bangunan di Kotagede yang akan menjadi kajian bangunan cagar budaya di antaranya bangunan benteng cepuri atau dikenal bokong semar di Kampung Dalem, Purbayan, Monumen Pacak Suji dan bangunan gardu listrik peninggalan Belanda atau babon anim di Pasar Kotagede. Selain itu bangunan- bangunan warisan budaya di sekitar kawasan between two gates Gang Rukunan di Kampung Alun-alun wilayah Purbayan.
“Bangunan di sekitar kawasan between two gates yang belum diusulkan akan kita kaji. Bangunan itu memiliki nilai sejarah penting. Seperti Pacak Suji itu (dibangun) saat penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX,” paparnya.
Susilo menyatakan beberapa kriteria bangunan cagar budaya antara lain usia lebih dari 50 tahun, memiliki gaya bangunan yang sama selama 50 tahun terakhir. Objek bangunan juga mempunyai arti penting bagi sejarah, pendidikan, agama dan masyarakat.
“Pada tahun 2023 dikaji, lalu TACB memutuskan apakah memenuhi kriteria-kriteria atau tidak. Jika memenuhi maka kita usulkan kepada walikota untuk ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kalau memenuhi kriteria bangunan cagar budaya tingkat DIY atau nasional kita usulkan sekaligus ke gubernur atau nasional,” terang Susilo.
Dalam proses kajian dan pengusulan bangunan cagar budaya, diakuinya dalam peraturan perundang-undangan tidak harus ada persetujuan pemilik bangunan. Namun dia menuturkan dahulu banyak bangunan cagar budaya maupun benda cagar budaya yang ditetapkan dalam rangka pelestarian tanpa diketahui pemilik, menyebabkan banyak masalah. Oleh sebab itu Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam prosesnya tetap meminta izin kepada pemilik bangunan.
“Ketika akan melakukan kajian itu kami minta izin permisi dulu kepada pemilik bangunan. Dengan komunikasi seperti itu, sebagian besar pemilik bangunan bisa menerima. Setelah ditetapkan jadi bangunan cagar budaya, pemerintah juga hadir. Misalnya setiap tahun ada pemberian apresiasi hadiah yang bisa membantu melestarikan,” jelasnya.
Menurutnya kekayaan bangunan yang diduga sebagai cagar budaya di Kota Yogyakarta lebih banyak dibandingkan kabupaten lain di DIY. Saat ini ada sekitar 179 bangunan cagar budaya di Kota Yogyakarta yang ditetapkan walikota, gubernur dan pemerintah pusat. Sebagian besar bangunan itu berada di lima kawasan cagar budaya di Kota Yogyakarta yaitu Kraton, Pakualaman, Malioboro, Kotagede, dan Kotabaru. Namun demikian dia menyampaikan ada juga beberapa bangunan cagar budaya di luar 5 kawasan cagar budaya di Kota Yogyakarta.(Tri)
Keterangan foto dari atas:
1.Bangunan di kawasan between two gates gang rukunan Kampung Alun-alun Kotagede
2. Monumen Pacak Suji di dekat Pasar Kotagede
3. Bangunan gardu listrik peninggalan Belanda di kompleks Pasar Kotagede.
4. Bangunan Benteng Cepuri Kotagede atau dikenal bokong Semar.