Merunut Sejarah Balaikota Yogyakarta (Seri 1)
Masyarakat Kota Yogyakarta tentu tidak asing dengan Balaikota yang letaknya ada di Timoho, tepatnya berada di Jalan Kenari No 56 Kelurahan Muja Muju, Kemantren Umbulharjo. Namun siapa sangka, sebelum bertempat di Timoho, Balaikota Yogyakarta sempat beberapa kali mengalami perpindahan. Pemilihan lokasi ini pun tidak lepas dari cerita sejarah yang panjang.
Mengenal suatu peninggalan sejarah akan semakin lengkap jika dibarengi dengan memahami konteksnya. Begitu juga dengan perjalanan Balaikota Yogyakarta. Yuk simak ulasannya.
Menurut penuturan KRTH Jatiningrat Pengageng Tepas Dwarapura Kraton di buku Balaikota Timoho Yogyakarta Keberadaan untuk Keberdayaan menceritakan sebelum menempati lokasi yang sekarang, Balaikota Lama Kotapraja Jogjakarta awalnya berada di Jalan KHA Dahlan atau sekaeang bernama CV Punokawan. Lalu pada tahun 1956 berpindah Sasono Hinggil Dwi Abad yang berada di Alun-Alun Kidul Yogyakarta.
Selanjutnya Walikota Pradja Jogyakarta, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo membuat ide dan gagasan agar sistem pemerintahan terintegrasi yang dapat diakses masyarakat dengan mudah.
"Pertimbangannya adalah bahwa suatu pusat pemerintahan seharusnya menjadi satu kesatuan agar memudahkan tugas-tugas Walikota dalam menjalankan roda pemerintahan," katanya saat ditemui belum lama ini.
Menurut beliau (Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo) dengan adanya gedung pemerintahan yang representatif dan terintegrasi akan dapat meningkatkan komunikasi dan pola koordinasi antar lintas sektoral di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan terutama untuk kepentingan permasalahan yang mendesak seperti perizinan dan kependudukan.
Sejalan dengan dinamika masyarakat dan Kota Yogyakarta yang semakin berkembang maka pada tahun 1975 pembangunan gedung baru Balaikota dilakukan dan berlokasi di Timoho, kelurahan Muja Muju, Kemantren Umbulharjo. Pembangunan ini atas prakarsa Walikotamadya Kepala Daerah (KDH) Tingkat II Yogyakarta, Soedjono AY.
"Pada waktu itu Timoho merupakan sebuah area persawahan yang relatif cukup luas. Lokasi ini jauh dari pemukiman penduduk dan hanya ada jalan setapak untuk akses menuju ke tempat tersebut," terangnya.
Lokasi inilah yang menjadi cikal bakal Komplek Balaikota Timoho yang saat ini menjadi pusat Pemerintah Kota Yogyakarta.
"Pemilihan Timoho sebagai pusat pemerintahan juga berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah tersebut dipandang sebagai wilayah yang akan menjadi pusat keramaian bagian timur Kota Yogyakarta mengingat wilayah tersebut belum begitu tersentuh keramaian layaknya wilayah sisi barat Kota Yogyakarta," bebernya.
Komplek Balaikota Timoho Yogyakarta sendiri menempati area tanah seluas 45.060 M2. Arah bangunan berorientasi ke arah utara yang ditandai dengan posisi gerbang masuk utama, lapangan terbuka serta adanya pendapa.
“Semua bangunan di Balaikota Timoho sengaja dibangun dengan arsitektur adat jawa, karena agar masyarakat yang masuk di komplek balaikota ini merasakan kalau mereka sedang berada di Kota Yogyakarta,” ungkapnya.
Pada tahun 1975 pembangunan Balaikota Timoho Yogyakarta diikuti dengan pembangunan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang saat itu bernama gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong (DPRGR) menghadap ke arah timur.
Selanjutnya pada tanggal 23 November 1976 dibangun gedung TP PKK Kodya Yogyakarta sebagai salah satu pilar pendukung pembangunan untuk kaum wanita.
Pada tahun 1976 dilaksanakan proyek pembangunan bangunan utama yakni Rumah Dinas Walikota Madya Tahap pertama. "Di tahun ini juga dilakukan pembangunan masjid Pangeran Diponegoro yang berada dalam area Komplek Balaikota Timoho di sisi utara," ujarnya.
Dibangunnya masjid ini adalah sebagai pilar pendukung terwujudnya suasana kehidupan yang bersendikan agama Islam.
Masjid tersebut diresmikan pada tanggal 24 Maret 1977 oleh Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud, didampingi oleh Walikotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta yang pada saat itu menjabat yakni H. Ahmad.
Balaikota Yogyakarta Kini
Sebagai pusat pemerintahan, Balaikota Yogyakarta telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas memadai. Ini adalah komitmen Pemkot Yogyakarta dalam memberikan akses layanan seluas-luasnya kepada seluruh warga Kota Yogyakarta.
Layanan publik ini bisa secara langsung diakses masyarakat melalui Mal Pelayanan Publik (MPP) yang berada di gedung bagian timur kompleks Balaikota Yogyakarta. Hingga artikel ini ditulis MPP Kota Yogyakarta memiliki total 219 layanan.
219 tersebut terdiri dari 64 izin, 55 non izin, 6 layanan komersial, dan 94 jenis layanan dari lembaga vertikal.
Zaman terus bergulir, pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga dimanfaatkan oleh Pemkot Yogyakarta untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Pada tahun 2018 Pemkot Yogyakarta meluncurkan aplikasi Jogja Smart Service (JSS). JSS merupakan aplikasi yang berbasis Single Window, Single ID, Single Sign On.
Melalui JSS masyarakat cukup mengakses satu aplikasi untuk bisa memperoleh berbagai layanan yang dibutuhkan. Pasalnya, seluruh sistem informasi dari tiap-tiap perangkat daerah disatukan dalam aplikasi tersebut.
Inovasi Pemkot Yogyakarta tidak berhenti disitu saja, pada tahun 2022 lalu, Pemkot Yogyakarta membangun tempat parkir vertikal di area balaikota.
Bentuk optimalisasi layanan kepada masyarakat juga harus didukung dengan ketersedian lahan parkir bagi masyarakat.
Tempat parkir vertikal ini untuk menambah jumlah kantong parkir bagi pengunjung yang mengendarai roda dua.
Parkir vertikal ini memiliki 6 lantai dengan sistem hidrolik yang memiliki kapasitas sekitar 180 unit sepeda motor sekali parkir. (Han)