Khutbah Idul Adha 1432 H oleh Herry Zudianto

Khutbah Idul Adha 1432 H
MEMBANGUN BUDAYA QURBAN
UNTUK KESEJAHTERAAN BANGSA
Oleh : H Herry Zudianto

Bismillahirahmanirohim.
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahirabil ‘alamin. Asyahudu anlaa ilaha illa Allah wahdahu laa sayarikalahu, almalikul haqqul mubin. wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rassuluhu, arsalahu rahmatan lil  ‘alamin. Wasalatuwasalamu ‘ala khotamil ambiya walmursalin wa ‘ala allihi wa ashabihi ajma’in. Waman tabi ‘ahum bi ihsanil ila yaumiddin. Amaba’du, fayaa ayyuhal muslimun wal muslimat, ittaqullah haqotuqotih. Walla tammuutuna illa wa antum muslimun.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, La illaha illa Allah, Allahu Akbar, Allahu akbar wa Lillahil Hamd.
Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah.
Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah berkenan melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga kita memperoleh kenikmatan dapat menunaikan perintahNya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta orang-orang yang senantiasa mengikuti risalah beliau.
Pada hari ini kaum Muslimin diseluruh dunia berkumpul di lapangan terbuka, laki-laki dan perempuan, tua-muda, dan bahkan anak-anak, tiada lain dalam rangka memenuhi panggilan Illahi Rabbi Dzat yang Maha Suci, seraya menggema dan melantunkan takbir, tahlil, dan tahmid. Allah Maha Besar, Allah Maha Agung, Allah Maha Mulia. Besar bukan karena dibesar-besarkan, agung bukan karena diagung-agungkan. mulia bukan karena dimulia-muliakan, tetapi karena dialah sang memiliki segala keagungan, kebesaran dan Kemuliaan, yang menghidupkan dan mematikan, mengangkat harkat derajat bagi siapa yang dimuliakan, menurunkan kehormatan bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Pada saat yang sama hari ini juga , saudara-saudara kita yang menunaikan ibadah haji membentuk lautan manusia di tanah suci, menjadi sebuah panorama menakjubkan yang menggambarkan eksistensi manusia di hadapan kebesaran Allah Yang Maha Agung. Mereka serempak menyatakan kesediaannya untuk memenuhi panggilan-Nya, “Labbaika Allahumma labbaik, labbaika lasyarikalaka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika lak.”
Allahu Akbar, Allahu Akbar, La illaha illa Allah, Allahu Akbar, Allahu akbar wa Lillahil Hamd.

Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah.
Hari raya ‘Idul Adha ditandai dengan peristiwa kemanusian dalam sejarah kehidupan manusia yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail, yaitu “pengorbanan” yang bermuara pada iman dan taqwa kepada Ilahi Rabbi, Allah semesta alam. Allah berfirman : “Setelah anak itu mencapai umur, Ibrahim bertanya kepadanya, “Hai anakku, kulihat dalam mimpi bahwa aku “menyembelihmu sebagai kurban, bagaimana pendapatmu”? Anaknya menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah ayah akan menemukan aku sabar menerima” [as-shaaffat:102].
Allahu Akbar, peristiwa “pengorbanan” Ibrahim dan Ismail adalah persitiwa besar dalam sejarah perjalanan kehidupan umat manusia. Peristiwa ini berlandaskan pada keikhlasan dan rasa cinta kepada Allah SWT.
Dr. Ali Syariati dalam bukunya “Al-Hajj” mengatakan bahwa Isma’il adalah sekedar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Isma’ilnya nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapa Isma’il kita? Bisa jadi diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Isma’il kita yang karenanya akan diuji dengan itu. Kecintaan kepada “Isma’il kita” itulah yang kerap membuat iman kita goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah. Kecintaan kepada ”Isma’il kita” yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, dan serakah tidak mengenal batas kemanusiaan. Allah mengingatkan kenyataan ini dalam firmanNya: “Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik“. (At-Taubah: 24)

Janganlah kecintaan terhadap isma’il-isma’il itu membuat kita lupa kepada Allah. Tentunya negeri ini yang saat ini dalam kondisi yang dipenuhi dengan berita-berita keburukan dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sangat membutuhkan hadirnya sosok Ibrahim di elite politik dan pemimpin bangsa yang siap berbuat untuk kemaslahatan orang banyak dengan berjihad dalam semangat totalitas, integritas, dan loyalitas sesuai tanggung jawab yang diemban dan kewenangan yang dipunyai untuk lebih mementingkan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi atau golongan guna mencapai Indonesia yang maju, sejahtera, berdaulat dan bermartabat.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, La illaha illa Allah, Allahu Akbar, Allahu akbar wa Lillahil Hamd.
Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah.
Kehadiran Idul Adha di tengah kehidupan peradaban umat saat ini, memiliki makna amat penting untuk ditangkap dalam perspektif ajaran dan makna agama yang substansial. Idul Adha merupakan ritual keagamaan yang sarat nuansa simbolik-metaforis yang perlu dimaknai secara kontekstual dalam pijakan nilai-nilai universal Islam.
Makna terpenting Idul Adha, salah satunya terletak pada upaya meneladani ajaran tauhid (monoteisme) Nabi Ibrahim (AS) yang bersifat transformatif. Dalam perspektif Islam, pengalaman rasional dan spiritual yang dilalui Ibrahim mengantarkan kepada keyakinan tentang tauhid sebagai suatu kebenaran hakiki. Ajaran ini meletakkan Allah sebagai sumber kehidupan, moralitas, bahkan eksistensi itu sendiri. Tanpa Allah, yang ada hanya kekacau-balauan, kehampaan, bahkan ketiadaan dalam arti sebenarnya. Keyakinan seperti itu berimplikasi langsung pada keharusan Ibrahim untuk menampakkan eksistensi itu dalam kehidupan nyata sehingga manusia dan dunia dapat menyaksikan dan "menikmati" kehadiran Sang Pencipta dalam bentuk kehidupan yang teratur, harmonis, dan seimbang.
Di dalam Al-Qur’an kita dianjurkan agar mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif. “ Qul shodaqollahu wattabi’ millata Ibrohiima hanifa wama kana minal musyrikiin” (ali Imron 95) dan juga firman Allah yang berbunyi : “ anittabi’ millata ibraahim hanifan wama kana minal musyrikiin (an nahl 123)”, hendaklah kamu mengikut agama Ibrahim yang lurus, atau tidak menyimpang. Selain disebut hanif, agama Ibrahim juga disebut agama yang penuh samaahah, atau agama yang penuh toleransi terhadap manusia lain.
Pengorbanan atau persembahan yang dilakukan Ibrahim merupakan manifestasi dari hal itu. Peristiwa ini memiliki dua dimensi yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri (kurban) dan dialog dengan Tuhan dalam rangka menangkap nilai dan sifat-sifat ketuhanan. Proses ini mengkondisikan umat manusia melepaskan segala hawa nafsu, ambisi, dan kepentingan sempit dan pragamatisnya sehingga dapat "menjumpai" Tuhan. Secara horizontal, hal itu melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata.

Dalam sebuah hadist qudsi Rasulullah bersabda : “an-naasu ‘iyali wa ahabbahum ilayya anfa’uhum li ‘iyali” seluruh umat manusia adalah warga dan keluarga-Ku dan sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak memberikan manfaat /kebaikan kepada mereka). Dalam hadis lain yang diriwaatkan oleh Imam Tirmidzi Rasulullah SAW bersabda : “At-Tho’im as-syakir kas-sho’im as-shobir” (dermawan yang mensyukuri dan mencintai kedermawanannya seperti ahli puasa yang shabar dengan ibadah puasanya) . Agama telah mengajarkan arti penting ibadah sosial dalam pembangunan bangsa dan pengembangan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian dari refleksi keimanan dan tauhid yang kita yakini.

Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah.
Wahyu Allah SWT kepada Ibrahim untuk mempersembahkan putranya yang kemudian diganti binatang kurban memperlihatkan, tidak satu manusia pun boleh merendahkan manusia lain, menjadikannya sebagai persembahan, atau melecehkannya dalam bentuk apapun. Sebab, manusia sejak awal dilahirkan setara dan sederajat. Nilai-nilai yang merepresentasikan kesetaraan dan sejenisnya perlu diaktualisasikan ke dalam realitas kehidupan sehingga dunia dipenuhi kedamaian, saling peduli, saling menghormati.

Tuhan pada hakikatnya tidak membutuhkan apa-apa, termasuk persembahan. Perintah itu hanya untuk menguji ketaatan manusia dalam merespon pesan dan perintah ilahi dan kesediaannya untuk tidak dikungkung kediriannya yang subyektif, atau impuls-impuls kejahatan yang menipu. Persembahan atau pengorbanan sekedar suatu simbol yang melambangkan makna yang lebih substansial, yaitu ungkapan ketaatan untuk mengembangkan nilai-nilai agama yang sejatinya selalu bersesuaian dengan nilai kemanusiaan perenial. Dalam hadistnya Rasulullah mengecam keras orang yang tidak peduli dengan lingkungan dan masyarakatnya. “ laisa minna mal-laa yahtam bi umuril muslimin” (bukanlah termasuk golongan orang muslim, mereka yang tidak peduli dengan kesulitan saudaranya).
Ditengah suatu bangsa, ketika orang kaya hidup mewah diatas penderitaan orang-orang miskin, ketika anak-anak yatim dan mereka yang papa merintih dalam belenggu nasibnya, ketika para penguasa menggunakan kekuasaannya untuk kesejahteraan dirinya bukan untuk memberi kesejahteraan kepada rakyat miskin, ketika para penegak hukum memihak orang kaya daripada kebenaran. Dalam kondisi inilah maka esensi perayaan Idul Qurban yang sesungguhnya perlu kita aktualisasikan dengan pembelaan kepada mereka yang kurang mampu secara ekonomi, pembelaan terhadap mereka yang mendapat perlakuan tidak adil secara hukum, pembelaan terhadap mereka yang tidak mendapatkan haknya. Rasulullah menyampaikan pesan sosialnya :
Wama lakum laa tuqotiluuna fii sabilillahi wal-mustadh’afiina minarrijali wan-nisai wal wildanil-ladziina yaquuluna robbana akhrijna minhadzihil qoryatidz-dzolimi ahluha waj’alna mil-ladunka waliyya waj’alna mil-ladunka nashiiro. (an-nisa’- 75)
( Mengapa kamu tidak mau berjihad dijalan Allah, membela orang-orang tertindas baik, laki-laki maupun perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo’a : Ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah penolong dari sisi-Mu).

Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah.
Hari raya qurban yang sesungguhnya adalah menumbuhkan sikap tenggang rasa dan kepedulian terhadap sesama. Norma atau cita-cita sosial inilah yang sesungguhnya ingin dihidupkan dalam ajaran tauhid. Sebagaimana yang ditegaskan dalam sabda Nabi SAW :” Maa aamina bii man baata syab’anun wa jaaruhu jaai’uun ila janbinhi wahuwa ya’lamu” (Tidaklah sempurna iman seseorang terhadapku, bila dia hidup dalam keadaan kenyang sedangkan dia tahu tetangganya sedang dalam kelaparan).

Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah.
Pengembangan tauhid seperti diungkap sebelumnya menjadi niscaya untuk dikembangkan dalam konteks kekinian dan dalam konteks pembangunan serta pengabdian humanis karena (sebagian) masyarakat Muslim cenderung memaknai tauhid sekadar percaya dan meyakini keesaan Allah. Monoteisme dipangkas dari maknanya yang substantif sehingga Islam mengalami reduksi pada implementasi rukun Islam yang lima. Dengan demikian, tauhid belum menjadi faith in action yang menjadi rujukan moral dalam segala sikap dan perilaku sosial kemasyarakatan.
Pengorbanan dalam Idul Adha perlu dimaknai dalam kerangka pembumian nilai agama yang memiliki spektrum moral yang luas. Pengorbanan merepresentasikan upaya pencapaian nilai-nilai kebaikan sejati yang pada prinsipnya bersifat moralitas dan universal, seperti melepaskan egoisme, narsisme, dan sejenisnya, berlaku adil kepada siapa saja, dan mengembangkan kesederajatan dalam kehidupan.

Melalui pemaknaan semacam itu, Idul Adha bersifat signifikan dalam meneguhkan keberagamaan substansial; keber-tauhid-an yang berimplikasi nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari Raya Haji mengingatkan kita peristiwa keagamaan yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran, berawal dari penghambaan diri manusia kepada kepentingan sendiri.

Karena itu, Idul Qurban harus menjadi proses pembebasan manusia dari segala sifat yang membuat manusia lupa jati dirinya sebagai makhluk Allah.

Marilah nilai-nilai substansi “pengorbanan ibrahim” dapat kita jadikan nilai-nilai keseharian, nilai-nilai dalam kita bekerja untuk para pegawai, nilai-nilai dalam kita berdagang untuk para pengusaha, nilai-nilai dalam kita menjalankan tugas untuk para pejabat dan pegawai negeri, nilai-nilai dalam kita mendalami dan menyebarkan ilmu untuk para cendekiawan. Amin ya robbal alamin...

Marilah makna dan nilai  Idul Adha tidak sebatas kita maknai dengan ritual berkorban kambing, unta, sapi, 1 tahun sekali, tetapi hendaknya memaknai bahwa semangat untuk memberi dan peduli kepada sesama (Rahmatan Lil Alamin) harus selalu ada dalam jiwa umat Islam dalam kehidupan dan kesehariannya, siapapun dia !

Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah.
Akhirnya untuk menyudahi khotbah  ini, marilah kita berdoa menyampaikan harapan-harapan kepada Allah yang maha pengampun, maha penyayang dalam suasana kemenangan penuh dengan kebahagiaan.
Alhamdulillah rabill ‘alamin wal aqibatu lil muttaqin.
Allahumaaghfir lilmuslimiina wal muslimat, wal mukminina wal mukminat al ahyai minhum wal amwaat. Allahumma rabbana dzollamna anfusana wa inlam taghfirlana watarhamna lanakuu nanna minal khosirin.
Ya Allah,  Engkau perintahkan kepada kami untuk memaafkan orang yang menzalimi kami, kami sudah menzalimi diri kami sendiri, ampunilah dosa kami Ya Allah, betapapun besarnya, ampunilah dosa kedua orang tua kami, para pendahulu kami, saudara kami kaum muslimin dan muslimat di seluruh muka bumi ini.
Rabbana, Engkau perintahkan kami untuk bersedekah kepada kaum fukara, peduli kepada sesama, inilah kami Ya Allah, semua fakir dihadapanMu, berilah kami rahmat dan petunjukmu.
Ya Allah, Engkau melarang kami mengusir orang-orang miskin dari pintu rumah kami. Kami ini semua orang miskin dihadapan-Mu, janganlah Engkau usir kami dari pintu rahmat-Mu, Ya Allah.
Ya Ghaffar, dengan cahaya-Mu kami mendapatkan petunjuk. Dengan karunia-Mu kami mendapatkan kecukupan, dengan nikmat-Mu, kami memasuki pagi dan petang, tetapi inilah kami Ya Allah orang-orang yang tidak pandai bersyukur, kami mohon ampunan-Mu. Kami bertaubat kepada-Mu.
Ya, Allah kami selalu meminta petunjuk kebaikan dari-Mu, karena kami tidak tahu akhir perjalanan hidup kami. Mungkin kami belum siap untuk menghadapi saat-saat kami menghembuskan napas terakhir.
Kami belum siap karena kegelapan kubur, kami belum siap karena kesempitan lahat, kami belum siap karena pertanyaan Munkar dan Nakir, oleh karena itu Ya Allah berilah kami kesempatan untuk tetap beribadah kepada-Mu, untuk tetap mengasihi dan menyayangi sesama ciptaan-Mu.
Rabbana, inilah hamba-hamba-Mu yang sepenuhnya bergantung kepada kasih-sayang-Mu. Kasihanilah kelemahan tubuh kami. Ampunilah kesalahan kami dan bersihkanlah hati kami. Bukalah pintu rahmat-Mu, terimalah doa-doa dan amal-amal kami.

Rabbana aatina fiddunya hasana wa fil aakhiroti hasana waqinna adzabanar. Subhana rabbika rabbil izzati amma yasifuun wassalamun alal mursalin wal hamdulillahi robbil alamien.
Wassalamu’alikum Wr. Wb

Yogyakarta, 6 November
Sholat  Idul Adha 1432 H, Halaman Balaikota