Putus Mata Rantai TBC Melalui Deteksi Dini
Gondokusuman - Penanganan Tuberkulosis atau TBC tidak hanya pada pengobatan pasien saja, tapi juga pemutusan rantai penularannya untuk mengeliminasi kasus, maka dari itu deteksi dini melalui skrining harus semakin digencarkan.
Hal itu dikatakan Ketua Tim Kerja Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Endang Sri Rahayu, saat Konferensi Pers Kolaborasi Penanggulangan Tuberkulosis, Senin (30/10) di Grand Kangen.
Pihaknya mengatakan hingga September 2023 setidaknya sudah tercatat 1.088 kasus TBC yang ditemukan dan ditangani fasilitas kesehatan Kota Yogya, di mana tahun sebelumnya ada 1.356 kasus dan 79 di antaranya pasien meninggal dunia.
“60 persen pasien TBC adalah mereka yang masih usia produktif, sementara 14 persen terjadi pada anak dan 5 persen lansia, fokusnya tidak hanya pada pengobatan tapi juga penularannya, karena saat ada 1 kasus ditemukan maka sumber penularan juga bertambah,” ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, rantai penularan harus diputus melalui skrining dan pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis atau TPT kepada orang yang kontak erat dengan pasien TBC, orang dengan HIV-AIDS, serta kelompok risiko lainnya yang masuk dalam kategori orang dengan Infeksi Laten Tuberkulosis atau ILTB.
“Sebelum diberikan TPT akan dilakukan serangkaian pemeriksaan, seperti riwayat penyakit dan gejalanya, rontgen dada, jika hasil abnormal akan dilakukan tes mantoux atau pun tes darah, ketika hasilnya positif, akan diberikan TPT,” terangnya.
Endang juga meminta kepada warga Kota Yogyakarta untuk terus menerapkan Pola Hidup Bersih dan Sehat, dan ketika memiliki gejala seperti demam selama lebih dari dua minggu, batuk berkepanjangan, atau penurunan berat badan, agar segera mengunjungi puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
"TBC bisa sembuh dengan penanganan dan pengobatan yang tepat, untuk itu jangan ragu untuk periksa, karena kesadaran diri sendiri untuk menanggulangi TBC sangat penting, agar penyakit ini segera teratasi dengan tuntas," imbaunya.
Sejalan dengan itu Dokter Spesialis Paru Astari Pranindya Sari menjelaskan, ILTB merupakan satu kondisi di mana sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi tidak mampu mengeliminasi bakteri TBC secara sempurna, tapi mampu mengendalikan bakteri TBC sehingga tidak timbul gejala sakit TBC.
“Beberapa hasil studi menunjukkan, 5 sampai 10 persen orang dengan ILTB akan berkembang menjadi TBC aktif, biasanya terjadi pada 5 tahun sejak pertama terinfeksi, bahkan kurang dari itu ketika memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Itulah kenapa ILTB sebagai potensi sumber penularan harus diberikan TPT,” jelasnya.
Sementara itu Direktur PKBI Kota Yogyakarta Agus Triyanto mengungkapkan, upaya eliminasi TBC tidak hanya pada sektor kesehatan saja, tapi juga sektor lain seperti lingkungan dan juga komunitas, karena tidak sedikit kasus TBC terjadi disebabkan lingkungan pemukiman tempat tinggal yang tidak sehat.
“Kota Yogya yang pemukimannya padat menjadi salah satu faktor penularan TBC, untuk itu perbaikan lingkungan dan tata ruang juga menjadi penting, agar tiap rumah sesuai pelaksanaan pengendalian infeksi TBC, utamanya pada sirkulasi udara dan paparan sinar matahari langsung, untuk itu diperlukan peran lintas sektor agar eliminasi TBC 2030 bisa tercapai,” ungkapnya.
Menurutnya peran komunitas sebagai bagian dari masyarakat juga penting, perihal ikut serta memberikan edukasi, menumbuhkan kesadaran satu sama lain, juga dukungan sosial kepada penderita TBC maupun keluarganya. (Jul)