KP4 UGM-KPWN-SMEDC UGM sosialisasikan Gama Indigo

Kebun Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Penelitian (KP4 UGM) bekerjasama dengan Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) dan SMEDC UGM mengadakan workshop dan Pameran dengan tema Zat Pewarna Alami untuk Mendukung Program Pemberdayaan UMKM yang Ramah Lingkungan, yang diadakan di UC UGM pada tanggal 11 Juli 2012 Pukul 08.00-13.00 WIB dengan narasumber Dr. Ir. Edia Rahayuningsih, M.S (Dosen Teknik Kimia UGM dan Direktur Gama Indigo).

Pembukaan kegiatan di buka oleh Rektor UGM. Workshop ini diikuti oleh peserta dari berbagai latar belakang, seperti pengusaha (praktisi bidang pertanian, perkebunan, hortikultura, peternakan, perikanan), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda), Kepala Dinas yang membidangi Koperasi dan UMKM, Dinas terkait (Perdagangan, Perindustrian dan Pertanian), CSR Perusahaan Swasta, Anggota legislatif (DPR, DPRD), Asosiasi Batik Indonesia, Peneliti, Dosen dan Mahasiswa, Para peminat dan pegiat bidang pertanian.

Dalam sambutannya, Dr. Ir. Cahyono Agus, M.Agr.Sc selaku Kepala KP4 UGM menyampaikan bahwa potensi Indigofera sebagai pewarna alami sangatlah prospektif. Indigofera dimanfaatkan secara luas sebagai sumber pewarna biru, tarum, di seluruh wilayah tropika. Jenis-jenis ini juga dianjurkan untuk ditanam sebagai tanaman penutup tanah dan sebagai pupuk hijau, khususnya di perkebunan-perkebunan teh, kopi, karet. Daun Indigofera arrecta dan Indigofera tinctoria digunakan dalam pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ayan dan gangguan syaraf, juga untuk luka dan borok.

Saat ini peminat zat pewarna olahan ini tidak hanya dilirik oleh pembeli lokal, namun dari luar negeri seperti Jepang dan Korea. Untuk membuat 1 kg serbuk zat pewarna Indigo dibutuhkan sekitar 250 kg daun Indogofera. Otomatis, jika ingin memproduksi secara besar-besaran, dibutuhkan banyak pasokan daun Indigofera.

Kendati butuh pasokan bahan baku yang banyak, hasil yang didapat dari zat pewarna ini memuaskan. Sebanyak 25 gram serbuk Gama Indigo bisa digunakan mewarnai dua lembar kain batik berukuran standar 3x1,5 meter.

Banyaknya pasokan bahan baku yang dibutuhkan turut mempengaruhi mahalnya harga jual zat pewarna buatannya. Ini jika dibandingkan dengan zat pewarna kimia yang banyak beredar di pasaran seharga Rp 60.000 per kg. Tetapi dari sisi kualitas, warna alami Indigo tergolong lebih lembut dan tahan lama. Yang tak kalah penting, zat pewarna ini lebih aman digunakan dan tidak menghasilkan limbah ketika melakukan proses pewarnaan pada kain. Karena terbuat dari bahan alami. Berbeda dengan zat pewarna kimia yang dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan berbagai penyakit kulit, seperti kanker kulit. "Karena menggunakan zat pewarna kimia, produk batik kami juga sulit diekspor ke Eropa,".

Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA selaku ketua penyelenggara menyampaikan tujuan dari kegiatan ini adalah membuka wawasan petani dan masyarakat tentang peluang usaha budidaya tanaman indigofera untuk meningkatkan pendapatan, memberikan wacana penggunaan pewarna alami yang ramah lingkungan, menghijauakan lahan kosong dan kritis dengan tanaman Pembina dan bermanfaat untuk menyuburkan tanah dan mereboisasi lahan gundul.