KAMPUNG KETANDAN, BUKTI RAGAM BUDAYA JOGJA SEJAK TEMPO DULU

Kampung Ketandan merupakan saksi sejarah akulturasi antara budaya Tionghoa, Keraton dan warga Kota Yogyakarta. Terletak di pusat Kota, tepatnya di Jalan Ahmad Yani, Jalan Suryatmajan, Jalan Suryotomo dan Jalan Los Pasar Beringharjo. Sejak 200 tahun yang lalu daerah ini menjadi tempat masyarakat Tionghoa tinggal dan mencari nafkah, sehingga diakui sebagai kawasan Pecinan kota Jogja.

Kampung Ketandan lahir pada akhir abad 19, sebagai pusat permukiman orang Cina pada jaman Belanda. Pemerintah Belanda kemudian menerapkan aturan pembatasan pergerakan (passentelsel) serta membatasi wilayah tinggal Tionghoa (wijkertelsel). Tetapi dengan izin Sri Sultan Hamengku Buwono II, warga Tionghoa tersebut tetap dapat menetap di tanah yang terletak di utara Pasar Beringharjo ini, dengan maksud turut memperkuat aktivitas perdagangan dan perekonomian masyarakat.

Arsitektur bangunan di kawasan ini masih didominasi nuansa tempo dulu. Rumah-rumahnya kebanyakan dibangun dua lantai memanjang ke belakang, dan digunakan sebagai toko sekaligus rumah pemiliknya hingga sekarang lazim disebut rumah toko atau ruko. Sebagian besar penduduk berprofesi pedagang emas dan permata, toko kelontong, toko herbal, kuliner juga berbagai toko penyedia kebutuhan pokok. Baru menjelang tahun 1950-an, hampir 90 persen penduduknya mulai beralih usaha ke toko emas. Pada tahun 1955, Toko emas pertama di Jogja berdiri dikawasan ini pula.

Masyarakat Tionghoa memang sangat berperan dalam penguatan kegiatan perekonomian Jogja semenjak 200 tahun yang lalu. Mereka bisa membaur dengan pedagang pasar, pedagang Malioboro dan warga Jogja pada umumnya. Sampai sekarang daerah ini masih menjadi salah satu pusat keramaian yang selalu dikunjungi para penggiat ekonomi. Warga Tionghoa di Kota Yogyakarta selain tinggal di kampung Ketandan, Beskalan juga Pajeksan.

Pemerintah Kota Yogyakarta kemudian menetapkan Kampung Ketandan sebagai daerah cagar budaya kawasan Pecinan yang akan dikembangkan terus menerus. Bangunan Tionghoa yang masih ada sudah rapuh, maka Pemkot selalu mendorong agar renovasinya mempertahankan arsitekstur khas Tionghoa. Bahkan bangunan baru yang akan atau telah dibangun diusulkan kembali berasitektur Tionghoa.

Bangunan-bangunan di Kampung Ketandan yang asli, memiliki atap yang berbentuk gunungan, namun seiring perkembangan, atap-atap tersebut direnovasi menjadi berbentuk lancip. Perubahan bangunan atap ini menunjukkan telah terjadi akulturasi budaya Cina dengan kebudayaan Jawa yang menimbulkan keunikan tersendiri. Juga menjadi salah satu ciri khas rumah Cina adalah jangkar yang ada di dinding.

Sejak tahun 2006, setiap menyambut Tahun Baru Imlek, di Kampung Ketandan diadakan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY). Ketandan dihiasi dengan ornamen dan Gapura berarsitektur Tionghoa, berlangsung pula Festival seperti panggung hiburan, seni barongsai, pasar kuliner hingga Pawai Budaya Tionghoa di sepanjang Jalan Malioboro. Jika PBTY telah berlangsung bukan hanya warga Tionghoa saja yang datang ke Ketandan, tetapi warga Jogja dan sekitarnya ikut antusias menikmati acara yang disajikan. PBTY ini diselenggarakan Pemkot Yogyakarta bersama warga Tionghoa se-Jogja, yang digelar sebagai upaya untuk mempertahankan identitas Kampung Ketandan Pecinan dan menambah keragaman kebudayaan di kota Yogyakarta yang memang terkenal sebagai Kota Budaya. (byu/dari berbagai sumber)