TIGA NAMA JALAN UTAMA DI KOTA JOGJA RESMI DIKEMBALIKAN KE NAMA ASLINYA
Tiga nama jalan utama yang terbentang dari Tugu hingga Alun Alun Utara Yogyakarta resmi dikembalikan namanya sesuai dengan sejarah dan filosofinya. Ketiga jalan tersebut adalah Jalan Pengeran Mangkubumi dikembalikan namanya menjadi Jalan Margo Utomo, Jalan Jenderal Ahmad Yani menjadi Margo Mulyo dan Jalan Trikora menjadi jalan Pangurakan. Pengembalian ketiga nama jalan ini ditandai dengan penekanan tombol dan pembukaan selubung papan nama jalan bertuliskan jalan Margo Mulyo di perempatan Nol Kilometer sisi timur oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X didampingi Walikota Yogyakarta. H. Haryadi Suyuti, Jumat, (20/12).
Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya mengakatan pengembalian nama jalan tidak berarti tidak menghargai nama jalan Trikora, A. Yani maupun Pangeran Mangkubumi. Tetapi pengembalian ini lebih mengacu kepada sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta. Dikatakan sejarah berdirinya Keraton tidak terlepas dari Hablumunnas dan Habluminallah. Pal Putih Tugu dan Beteng Krapyak sebagai bentuk simbolisasi hablumiallah dan habluminanas itu.
Sri Sultan mengisahkan arsitektur dan filosofi keberadaan Keraton dari Regol Kemagangan ke selatan hingga Siti Hinggi di Alun Alun Kidul (Selatan) semua bangunan tidak memakai cat berwarna tetapi hanya dipolitur. Hal ini merupakan simbol sebelum manusia lahir. Baru sampai ke Magangan, akan terlihat warna warni cat yang menandai di situ ada kelahiran manusia. Menurutnya, menjadi kewajiban bagi seorang Sultan untuk menghantarkan manusia itu sampai ke Pal Putih Tugu, yang merupakan simbolisasi vertikal Ketuhanan, simbolisasi keimanan dan ketakwaan.
Ditambahkan pula Sultan berkewajiban untuk menghantarkan siapapun juga di dalam mencapai keimanan dan ketakwaan, melewati tantangan- tantangan duniawi dalam proses pendewasaan. Melewati area publik Alun Alun Utara seseorang akan lolos dalam keseimbangan yang ditandai dengan mengerti apa artinya baik dan buruk, siang dan malam dan lain sebagainya. Akan tetapi manusia itu belum memiliki keseimbangan dalam aspek nafsu dan nuraninya. Maka selanjutnya dia melewati jalan Pangurakan yang sekarang jalan Trikora. Jalan Pangurakan ini merupakan simbolisasi dari kegelisahan remaja di dalam mencapai keimanan dan ketakwaan, antara keseimbangan napsu dan spiritual nuraninya.
“Dengan terus berjalan ke utara keseimbangan itu akan melalui jalan Margomulyo. Di jalan Margomulyo itu akan terbangun keseimbangan lahir dan bathin, karena seseorang akan mencapai kedewasaan. Bagi mereka yang akan mendahulukan kepentingan napsu manusianya, tidak pernah akan sampai ke Margo Utomo, apalagi sampai pal Tugu. Dia akan berhenti di pasar Beringharjo. Karena pasar Beringharjo merupakan simbolisasi kepentingan-kepentingan duniawi,” tutur Sri Sultan.
Sultan melanjutkan, kalau manusia lolos dari keseimbangan itu, dia akan melewati Margo Utomo. Melewati Margo Utomo berarti manusia akan mengerti apa arti hakekat hidup dan kehidupan untuk sesama manusia karena ciptaanNya. Sehingga manusia itu memiliki dua kewajiban yakni Hamemayuhayuning Bawono dan yang utama hanya untuk mengagungkan nama Tuhan. “Seperti apa dia bicara hakekat di dalam kehidupan, itulah dia akan mencapai lewat Margo Utomo. Dia akan mencapai keimanan dan ketakwaan yang sebenarnya di Pal Putih Tugu. Itulah siimbol filosofi yang ada dari sebelah selatan Keraton sampai ke Pal Putih Tugu,” ujar Sri Sultan.
Sri Sultan mengungkapkan bahwa keinginan untuk mengembalikan nama ketiga jalan itu karena adanya tantangan jaman, sekaligus mengingat Yogyakarta sebagai heritage city (kota cagar budaya). Oleh karenanya Yogyakarta harus memiliki sebuah pendekatan tentang bagaimana membangun peradapan manusia. Manusia dibangun berdasarkan integritas aklak, kemuliaannya dan keagungan namanya, bukan berdasarkan materi. Sehingga dengan demikian Yogyakarta yang Istimewa itu harus dipahami sebagai bentuk kearifan lokal di dalam menghadapi tantangan jaman serta membangun peradaban manusia dengan karakter karakter lokal.
Sri Sultan berharap pengembalian nama ini bisa terbangun filosofi menjadi arah di dalam berproses, baik proses politik, proses pembangunan, maupun proses di dalam membangun kebersamaan. Sehingga rasa nyaman dan aman warga masyarakat karena didasari oleh kearifan, integritas dan harga diri di dalam membangsa dan menegara.
Sri Sultan juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah ikut merestui dan menyetujui, pengembalian nama ketiga jalan ini.
Sementara itu Walikota Yogyakarta H. Haryadi Suyuti mengatakan niat untuk mengembalikan nama jalan ini merupakan implementasi Keistimewaan Yogyakarta dan pelestarian filosofi pendirian Yogyakarta yaitu Hamemayu Hayuning Bawana atau memperrcantik dan memelihara dunia. Filosofi garis imajiner identitas Yogayakarta dari gunung Merapi yang melambangkan asal muasal manusia hingga laut selatan merupakan asal kembalinya manusia, akan dipertegas dengan mengembalikan nama jalan sesuai dengan filosofi dan nilai historis yang terkandung dalam sejarah kistimewaan DIY.
Walikota berharap setiap orang yang menyusuri jalan-jal
an di Yogyakarta akan sekaligus mengenali akar sejarah dan ruh keistimewaan Yogyakarta. “Melalui jalan Margo Utomo bersama kita menuju keutamaan, menyusuri Jalan Maulyo untuk menuju kemuliaan dan menapaki Jalan Pangurakan sebagai symbol pembebasan dari hal-hal yang negative, bersatu melestarikan kedamaian,” kata Walikota.
Untuk kepengurusan administrasi yang berkait dengan alamat Walikota mengatakan akan memberikan waktu 1 hingga 2 tahun bagi instansi dan pelaku usaha yang berada dalam kawasan yang dikembalikan namanya menjadi nama yang lama untuk proses mengganti alamat. Dikatakan, meskipun nama jalan diganti namun instansi atau pelaku usaha ini masih bisa menggunakan nama dan alamat jalan yang lama. “ Kita berikan waktu minimal 1 tahun sampai dua tahun untuk mengurusnya. Kalaupun menggunakan nama baru, dia masih menggunakan nama yang lama,” ujar Walikota. Walikota juga menambahkan meskipun nama jalan berubah tetapi RT/RWnya tidak ikut berubah. (@mix)