Sekali Cinta Tanah Air Pantang Pudar Selama Hayat Dikandung Badan

Menilik kebugaran tubuhnya dan aktivitas sehari-harinya yang dinamis, banyak orang tidak mengira bahwa H. Soenaryo Gun Wiradi telah berusia 83 tahun. Tatapan beliau masih berkilat memandang geliat perubahan jaman, telinga beliau masih tajam mencermati hiruk pikuk persoalan bangsa dan mulut beliau sangat fasih menceritakan sejarah perjuangan Banga Indonesia mencapai kemerdekaannya. Dengan pemikirannya yang arif, Mbah Naryo masih sangat bersemangat membangun negeri ini melalui kemampuan beliau di berbagai bidang.

            “Karir” perjuangan beliau dimulai tahun 1940-an ketika Soenaryo kecil yang baru menginjak kelas 6 SD bermain ke Alun-Alun Kidul Yogyakarta dan tertarik melihat antrian pemuda pemudi. Tanpa pikir panjang Naryo kecil ikut antri yang ternyata antrian tersebut adalah pendaftaran untuk menjadi tentara. Merasa sudah terlanjur antri dan terpengaruh euphoria bela negara, Naryo kecil membulatkan tekad untuk mendaftar. Beruntung karena badannya “bongsor” dan dinilai memiliki kecerdasan dan tekad yang kuat, Naryo kecil lolos tes dan keesokan harinya langsung “diangkut” untuk mengikuti pelatihan tanpa sempat berpamitan dengan keluarganya.

            Keahlian Naryo kecil berbahasa Jepang membuatnya mudah diterima oleh lingkungannya. Kefasihannya berbahasa Jepang karena beliau sempat bersekolah di sekolah Jepang sampai pernah menjadi penerjemah pasukan Jepang untuk berkomunikasi dengan warga pribumi di Yogyakarta. Selepas pendidikan, Mbah Naryo menjalankan tugasnya sebagai pejuang kemerdekaan berpindah-pindah tempat. Bersama BPRI Mataran di Magelang sampai Ambarawa, bersama T.R.M di Srondol, Kaliwungu, Kebumen hingga Ciranji Jawa Barat. Pada masa-masa perjuangan mengangkat sejata melawan penjajah, Mbah Naryo pernah harus berhadapan dengan gurunya sendiri ketika bersekolah. Namun hal tersebut tidak menciutkan nyali dan tekad Mbah Naryo untuk memenangkan Bangsa Indonesia. Puncaknya, saat Clash II bersama A.P.S di sektor selatan dan bersama SWK 101 di dalam kota dalam Pertempuran Kota Baru yang sangat heroik.

            Kini era perjuangan beradu senjata telah berakhir, namun Mbah Naryo menolak untuk berhenti berjuang bagi bangsanya. Di masa awal kemerdekaan, Mbah Naryo pernah menjadi pimpinan rombongan transmigrasi ke Lampung untuk membangun daerah-daerah. Banyak yang beliau lakukan, mulai dari bertani, berburu, sampai menjadi tukang gerobag sapi. Di usia senjanya, berkah kesehatan dan usia beliau pergunakan untuk berbuat kebaikan dan mengabdi kepada keluarga dan masyarakat. Saat ini, bersama istri Hj. Sri Lestari, rumah Mbah Naryo di Notoprajan Ng II/681 Yogyakarta senantiasa diramaikan oleh 9 orang anak, 20 cucu dan 9 cicit secara bergantian. Para anak, cucu dan cicit senantiasa rindu untuk bertemu dengan Mbah Naryo agar dapat mendengar kisah-kisah perjuangannya dan nasehat-nasehat bijak beliau karena bermanfaat sebagai modal untuk menjalankan kehidupan di jaman sekarang. Dilingkungan sekitarnya Mbah Naryo juga dikenal sebagai sesepuh yang sangat bersemangat dan ramah serta mudah berinteraksi dengan warga masyarakat.

Saat ini, hari-hari Mbah Naryo diisi dengan melanjutkan perjuangannya melalui kegiatan seni dan sosial kemasyarakatan. Memiliki kemampuan bermusik, Mbah Naryo telah menciptakan ratusan lagu yang liriknya didominasi semangat kecintaan pada tanah air dan kerinduan beliau pada kejayaan Bangsa Indonesia. Selain itu, beliau juga mahir menulis geguritan dan aktif sebagai anggota Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan Paguyuban “Tunggak Semi” RRI Yogyakarta. Di bidang organisasi, Mbah Naryo masih menjabat Ketua Maran Ngampilan (NPV. 11.007.938/B) dan anggota pengurus Taman Makan Pahlawan 45 Yogyakarta

            Kecintaannya pada tanah air dan semangat berjuang sungguh tidak berbatas dan berujung. Sisa usia yang beliau miliki telah didedikasikan bagi tegaknya NKRI yang berlandaskan UUD 45 dan Pancasila seutuhnya. Semoga perjuangan beliau menjadi berkah bangsa Bangsa Indonesia     dan kewajiban generasi penerusnya untuk memaknai dan tidak mudah melupakannya. (dian)