Pawiyatan Jawi, Perkuat Identitas Budaya ASN Kota Yogya

 


Ngampilan - Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta bersama KORPRI Kota Yogyakarta menggelar Pawiyatan Jawi untuk para Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Kegiatan ini mengusung tema Busana, Unggah-Ungguh, dan Salah Kaprah Basa dan berlangsung di Hotel Cavinton, Jumat (18/10).

Dalam sambutannya, Ketua KORPRI Kota Yogyakarta, Aman Yuriadijaya, menekankan pentingnya pelatihan ini sebagai wujud nyata komitmen Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam melestarikan budaya lokal. Menurutnya, pelatihan Pawiyatan Jawi tidak sekadar memberikan pengetahuan teknis mengenai tata busana atau bahasa Jawa, tetapi juga memiliki dimensi yang lebih mendalam sebagai bentuk tanggung jawab moral ASN .

“Pawiyatan Jawi bukan hanya sebuah pelatihan teknis, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai ASN untuk meneruskan warisan budaya dan menjaga tradisi luhur yang menjadi identitas Yogyakarta,” jelas Aman Yuriadijaya.

Aman menegaskan bahwa ASN bukan hanya pelayan publik dalam aspek administratif, tetapi juga cerminan identitas daerah. Melestarikan budaya lokal merupakan bagian integral dari tugas ASN di Yogyakarta, dalam menjaga citra keistimewaan Yogyakarta. Dengan memahami nilai-nilai budaya Jawa, ASN diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang lebih santun, beretika, dan sesuai dengan kearifan lokal. 

 

Peserta Pawiyatan Jawi di Hotel Cavinton, Jumat (18/10)

 

Kegiatan Pawiyatan Jawi menghadirkan dua narasumber ahli di bidang kebudayaan, Faisal Noor Singgih dan Wahyuni Shinta Utami, yang membahas berbagai topik budaya Jawa, termasuk motif batik larangan, busana adat Gagrag Ngayogyakarta, subasita dan unggah-ungguh, serta pencegahan kesalahan penggunaan bahasa Jawa dalam pelayanan publik. Penggunaan bahasa Jawa yang tepat menjadi salah satu fokus utama, mengingat kesalahan dalam bahasa dapat menurunkan citra profesionalisme ASN di mata publik.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, menyampaikan bahwa kegiatan Pawiyatan Jawi ini adalah langkah penting untuk memperkuat jati diri ASN sebagai representasi budaya Jawa. "Keistimewaan Yogyakarta terwujud dalam budaya, adat, dan tata krama yang kita lestarikan. ASN memegang peran penting dalam menjaga dan meneruskan nilai-nilai luhur ini," ujarnya.

Yetti menekankan bahwa pemahaman mendalam mengenai berbagai aspek penting budaya Jawa. Mulai dari penggunaan busana adat yang benar hingga tata krama unggah-ungguh, serta penggunaan bahasa Jawa yang sesuai dengan konteks. Diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme ASN sekaligus menjaga identitas budaya sehingga mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal yang menjadi ciri khas Yogyakarta. 

"ASN yang menerapkan nilai-nilai budaya Jawa dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari akan memberikan kontribusi positif bagi citra Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta bukan hanya tentang bagaimana kita menjalankan pemerintahan, tetapi juga bagaimana kita mempertahankan dan mempraktikkan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi,” ungkap Yetti.

 

Narasumber

 

Hal senada juga disampaikan oleh Faisal Noor Singgih bahwa mempelajari Bahasa Jawa tidak sekadar soal memahami bahasa itu sendiri, tetapi juga tentang memahami tata krama yang terkandung di dalamnya. Menurutnya, Bahasa Jawa memiliki sistem tata krama atau unggah-ungguh yang sangat kental yang mencerminkan nilai-nilai hormat dan kesantunan, yang harus dipahami dan diterapkan dalam setiap interaksi sosial, terutama oleh ASN yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

“Dalam penggunaan bahasa Jawa, sering kali terjadi salah kaprah, ketidaktepatan yang, sayangnya kerap dianggap wajar atau benar di lingkungan. Misalnya, penggunaan kata-kata yang tidak sesuai dengan konteks tingkatan bahasa, seperti mencampur ngoko dengan krama dalam percakapan formal, menjadi hal yang lumrah padahal tidak benar secara kaidah. Kebiasaan ini, jika dibiarkan, dapat merusak pemahaman tentang tata bahasa yang benar dan mengikis nilai-nilai kesantunan yang terkandung dalam unggah-ungguh,” jelasnya. (Chi)