WARGA TERBAN HIDUPKAN KEMBALI TRADISI MERTI KAMPUNG DAN REJEBAN

Setelah 40-an tahun 'mati suri' warga masyarakat  Terban  Kota Yogyakarta mencoba  menghidupkan kembali sebuah  tradisi    yang pernah hidup di masrayakatnya. Tradisi yang dimaksud adalah tradisi  upacara Rejeban. Tradisi Rejeban yang berkembang di  masyarakat Terban hingga tahun 1969 ini merupakan tradisi  lokal yang memiliki sarat makna  baik dari sisi budaya dan filosofinya.

Ketua panitia Rejeban Antonius Yulianto menjelaskan sebagai upaya melestarikan dan me'nguri-uri' tradisi budaya lokal yang sudah mulai dilupakan masyarakat kelurahan terban  dengan didukung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta melalui kegiatan Kampanye Sadar Budaya  menyelenggarakan kegiatan adat tradisi “Merti Kampung dan Gelar Budaya Rejeban”. Kegiatan ini  dilaksanakan, Minggu (25/5) bertempat di Balai Maspur Kelurahan Terban dan sekitarnya mulai pukul 08.00 sampai 23.30 WIB.

Antonius Yulianto yang biasa disapa Lilik mengatakan kegiatan  Merti Kampung dan Gelar Budaya Rejeban ini akan mencoba mengangkat kembali adat tradisi yang pernah hidup di kelurahan Terban.  Masyarakat Sagan kelurahan  Terban hingga tahun 1968 senantiasa menyelenggarakan acara tradisi Rejeban dengan menggelar bentuk upacara adat antara lain bersih bersih makam (reresik makam leluhur). Selain itu, warga masyarakat juga mempersembahkan   pisungsung 'Ambengan Takir' yang berisi nasi gurih serta kelengkapan ubo rampe lainnya yang selanjutnya didoakan melalui upacara kenduri. “Sebagai puncaknya adalah pergelaran wayang kulit. Semua itu dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan mohon doa slametan kampung (keselamatan)  terhadap Tuhan Yang Maha Esa, agar warga masyarakat senantiasa diberikan berkah keselamatan dan tata titi tentrem raharja gemah ripah lohjinawi,” ujar Lilik. Menurut Lilik, seiring berjalannya waktu kegiatan tersebut mulai jarang dilaksanakan secara massal dan hanya beberapa keluarga kecil saja yang masih terlihat melakukan tradisi bersih makam tanpa rangkaian tata upacara lainnya.

Kedepannya, Lilik dan warga masyarakat  bertekad  terus membangkitkan kembali tradisi Rejeban ini dan  melestarikan. “Kami akan terus melestarikan tradisi Rejeban ini. Kami juga  mengajak kaum muda untuk peduli dengan tradisi ini. Apalagi kegiatan ini didukung penuh oleh Keurahan dan Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta,” tekad Lilik.

Menurut Lilik Acara Merti Kampung dan Rejeban ini diisi dengan beberapa kegiatan seperti kirab Gunungan yang terbuat dari hasil bumi warga kelurahan Terban mengelilingi kampung Terban oleh Bregodo Purbanegaran pada pukul 08.00-12.00. Selain itu, Warga rombongan kirab berhenti di tiga makam leluhur yakni makam Bendo, makam Purbonegoro dan makam Carangsuko untuk menabur bunga. Dijelaskan, Makam Bendo merupakan makam Kyai Sag dan Nyai Sag yang   menjadi cikal bakal lahirnya kampung Sagan. Makam Purbonegaran adalah tempat peristirahatan terakhir Kyai Purbonegoro  yang juga menjadi cikal bakal nama Kampung Purbonegaran. Sedangkan makam Carangsuko merupakan tempat dimakamkannya kyai Carangsuko.

Sedangkan di sore dan malam hari acara diisi dengan Pasrah Ambengan, Sarasehan yang menghadirkan Ustad Nana Karsana dan Harry Haryono seorang pelaku tradisi Rejeban kemudian dilakukan syukuran (kenduri) dengan makan bersama. Malam harinya digelar seni budaya yang menampilkan karya seni dan budaya yang menjadi potensi wilayah kelurahan Terban.

Sementara itu, Ustad Nana Karsana dalam kajiannya yang disampaikan pada acara sarasehan  yang mangupas makna Rejeban  dipandang dari sisi  tradisi  dan budaya menjelaskan bahwa asal mulah Rejeban berasal dari bahasa Arab yakni Rojabah yang juga menjadi salah satu bulan dalam perhitungan tahun Islam. Menurut Nana di dalam tradisi Rejeban ini ada peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

 Dijelaskan, berdasarkan terminologi Islam yang dilakukan oleh para Walisongo khususnya Sunan Kalijaga tradisi Rejaban ini dimaknai sebagai  sebuah wujud  penyembahan terhadap Tuhan melalui ibadah dan upacara ritual. Sedangkan, kajian budayanya, tradisi Rejaban ini hendaknya dimaknai sebagai wahana untuk menjalin tata hubungan dengan sesama manusia, dengan tidak adanya sekat perbedaan diantara mereka. Ditambahkan, dalam budaya Jawa jalinan tata  hubungan kemanusiaan ini terpancar dalam sikap yang mengutamakan gotong royong, guyub rukun melalui interaksi langsung dengan semua elemen masyarakat.

Lurah Terban Anif Luhur Kurniawan, S.IP mengatakan dirinya kan mendorong warga masyarakat Terban untuk menghidupkan kembali adat dan tradisi yang pernah ada di wilayahnya, diantaranya acara Merti Kampung dan tradisi Rejeban yang telah lama hilang. Menurut Anif tradisi Rejeban dan kegiatan Merti Kampung ini akan menjadi potensi budaya yang dimiliki warga Terban. “Kalau ini (tradisi Rejeban)  dikembangkan dengan baik, saya yakin akan menjadi tradisi yang baik dan berpotensi menjadi daya tarik wisata yang menarik. Kami akan terus mendorong warga,” ujar Anif. Anif mengatakan potensi budaya dan potensi ekonomi yang dimiliki kelurahan Terban banyak. Melihat    dirinya akan berecana dalam waktu dekat ini juga akan mendeklarasikan Terban sebagai sentra industri kuliner.

Sementara itu pula, Dalam upaya melestarikan dan nguri-uri tradisi budaya lokal Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta melalui kegiatan Kampanye Sadar Budaya akan terus mendukung dan memberikan dorongan kepada warga masyarakat Kota Yogyakarta termasuk warga masyarakat Terban dengan adat tradisi Merti Kampung dan Gelar Budaya Rejebannya untuk terus melestarikan potensi budaya yang ada di wilayah. (@mix)