Layanan Antar Klien Sakit Jiwa Pemkot Yogya

Tidak mudah untuk mendekati warga yang memiliki anggota keluarga psikotik (sakit jiwa). Stigma yang terlanjur berkembang bahwa penderita psikotik merupakan aib bagi keluarga merupakan hambatan bagi upaya penyembuhan penderita psikotik. Terdapat banyak kasus di wilayah ketika ada warganya yang menderita psikotik, lingkungan menjadi kurang nyaman dan kondusif. Dan sampai pada kondisi tertentu keluarga dan warga seolah menyerah serta tidak peduli karena tidak tahu harus berbuat apa lagi sehingga permasalahan tidak terselesaikan.

            Mungkin belum banyak warga masyarakat yang tahu bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki Layanan Antar Klien Sakit Jiwa. Bernaung di bawah Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, program ini ditujukan untuk memberikan layanan antar klien sakit jiwa ke rumah sakit tanpa dipungut biaya. Rumah sakit yang menjadi rujukan adalah RS Jiwa Ghrasia Pakem dan RS Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang. Diawaki oleh 3 orang petugas yang semuanya laki-laki dengan menggunakan 1 unit mobil dalam seminggu rata-rata mengantar 3 orang klien. “Tetapi ada masanya kami “panen” klien. Satu minggu mengantar 5 orang klien dengan kasus yang kompleks. Tenaga dan pikiran terkuras betul”, jelas Bonaventura Wardjono salah seorang petugas.

            Informasi adanya klien sakit jiwa yang harus “dievakuasi” biasanya diperoleh dari warga masyarakat melalui RT/RW, petugas sosial masyarakat dan terkadang rujukan dari keluarga sendiri ketika klien sudah dirasa mengganggu lingkungan dan sulit ditangani. “Untuk membawa klien ke rumah sakit jiwa bukan hal yang mudah, karena sebagian besar tidak menyadari dirinya bermasalah sehingga melakukan “perlawanan” baik kategori ringan sampai yang mengharuskan kami “gelut”, beber Bandono yang juga petugas.

            “Melayani klien dengan gangguan kejiwaan harus dilakukan dengan pendekatan “roso” tidak bisa dengan satu SOP saja karena setiap kasus berbeda latar belakang kejadian dan dampaknya bagi lingkungan. Terkadang kami sampai harus berulang kali datang karena klien kabur sedangkan kami tidak diperkenankan melakukan tindakan pemaksaan dalam proses evakuasi. Kemampuan menganalisis masalah dan pengalamanlah yang paling banyak membantu kami menyelesaikan tugas dengan baik”, tambah Bambang petugas paling senior.

            Proses penjemputan klien tidak selalu mudah dan cepat karena harus benar-benar telah memenuhi persyaratan. Setelah mendapatkan rujukan, akan dilakukan observasi kasus bekerja sama dengan pekerja sosial masyarakat, tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat sampai dihasilkan solusi yang disepakati bersama terutama oleh pihak keluarga. Tahapan ini terkadang berlangsung berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Untuk menghindari resiko non teknis, dalam menjalankan tugasnya tim akan menyiapkan surat-surat pengantar dan berkoordinasi dengan rumah sakit yang dituju serta pihak kepolisian.  

            Sudah banyak klien yang berhasil “sembuh” dan dapat berkarya lagi di lingkungan masyarakat. “Tugas kami tidak hanya pada evakuasi dan mengantar klien ke rumah sakit saja. Tetapi juga memantau perkembangan klien selama dirawat dan setelah kembali ke keluarga. Kami akan sangat puas dan bersyukur apabila klien dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang normal dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya”, tandas Bambang.

            “Sebenarnya tugas kami tidak terbatas pada layanan antar sakit jiwa saja. Berbagai masalah sosial seperti anak terlantar, korban trafficking, KDRT akan kami evakuasi dan salurkan ke berbagai institusi terkait semisal panti asuhan dan rumah singgah”, tambah Bandono.

            “Untuk sementara jangkauan pelayanan kami terbatas bagi warga yang berdomisili dan memiliki KTP Kota Yogyakarta. Segera hubungi kami apabila ada warga masyarakat yang perlu “dievakuasi” karena penderita psikotik bisa disembuhkan dan kami memiliki mitra untuk penanganan masalah sosial lainnya”, tutup Bonaventura Wardjono. (Dian/Ag)