Puluhan PKL Kunjungi Balaikota

Pedagang Keliling Jogja keluhkan penataan Alun-alun Utara (Altar) yang ditengarai mengurangi pendapatan mereka.

Pendamping dan Ketua Umum Pedagang Keliling Kota Jogja, Sinta Setyowati, pada audiensi bersama Pemerintah Kota Jogja dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Jogja mengatakan, semenjak adanya penataan Altar, di mana tidak ada lagi bus wisata yang parkir di Altar, mereka tidak ada tempat untuk berjualan.

"Tahun lalu, banyak bus wisata, sehingga kami bisa mengais rezeki. Sekarang sudah tidak bisa, sekitar dua bulan tidak ada pemasukan," ujarnya di Ruang Utama Bawah Balaikota, Kamis (12/2).

Hingga kini, lanjut Sinta, mereka belum mengetahui apakah akan diberikan tempat atau mencari lahan lain. Meski demikian, pada akhirnya mereka sempat mencari tempat sendiri di Jln.KH.Ahmad Dahlan tetapi terkena penertiban.

Dengan adanya penataan Altar, soal parkir selalu berkaitan dengan pedagang.

"Mbok PKL juga dilibatkan dengan kebijakan, apakah kami juga termasuk dalam program tersebut, kami mau ditata asal tempatnya layak dan tidak melanggar Perda. Kami bermimpi punya tempat tetap," paparnya, mewakili aspirasi sejumlah pedagang. Sementara Pedagang Keliling Kota Jogja yang diwakili dalam paguyuban yang diketuainya sekitar 125 pedagang.

Pedagang Keliling Kota Jogja, sifatnya seringkali berdagang secara insidental di hotel-hotel. Pada sore hari, mereka beraktivitas di Jln.Trikora, utara Altar.

Meski tetap berusaha produktif untuk mempertahankan ekonomi keluarga, mereka berpandangan, setelah ada penataan parkir, berimbas pada tidak adanya lagi tempat berdagang bagi mereka.

Menanggapi keluhan pedagang, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertanian Kota Jogja menyampaikan bahwa penataan Altar merupakan bentuk sinergitas antara Pemkot, Pemprov dan pihak Kraton.

Sementara, Wakil Walikota Jogja, Imam Priyono menyampaikan akan melakukan pembahasan dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait di Pemkot, yang sekiranya nanti akan mampu mengakomodasi dan memberikan solusi kepada para pedagang keliling.

Meski demikian, ia juga menyampaikan keperihatinan sekaligus permohonan, agar para pedagang mempertimbangkan untuk tidak lagi menjual pakaian bermotif batik yang merupakan hasil produksi Tiongkok.

"Memang batik yang dijual bapak ibu sekalian itu murah, tapi itu buatan Tiongkok. Sementara saat ini sudah zaman Masyarakat Ekonomi Asean 2015, kalau batik hasil karya perajin lokal Jogja tidak dibantu untuk dijual juga oleh bapak ibu sekalian, kemudian tidak laku, tidak bisa bersaing, bagaimana keberlanjutannya ?," tandas Imam Priyono. (Han)