Tahunan, Kampung Angkringan
Kampung wisata Tahunan, Umbulharjo, Kota Jogja, kini tak lagi hanya identik dengan kampungnya batik jumputan. Melainkan kampung kuliner angkringan. Ide kampung angkringan ini, muncul dari ide seorang sarjana teknik mesin Universitas Gajah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta bernama Muhammad Helmi Rakhman.
Saat menjadi mahasiswa, Helmi, panggilan singkat lelaki single kelahiran 6 Maret 1989 ini, mengumpulkan uang. Uang yang diraih dari beasiswa di kampusnya, sebesar Rp2.500.000 per semester, tak ia gunakan sebagai biaya pendidikan. Melainkan ditabung, sebagai modal usaha.
Benar, pada 2011, ia mendirikan usaha jagung bakar, disandingkan bersama angkringan pertamanya. Melihat keuntungan yang lumayan, serta pangsa pasar yang bisa menjadi peluang, ia berniat mengembangkan usaha angkringan yang sudah ia miliki.
"Namun saya ingin mengembangkan usaha ini, sekaligus memberdayakan masyarakat di Tahunan. Karena saya melihat ada banyak ibu-ibu di Tahunan yang jago memasak, saya ajak mereka untuk ikut mengembangkan bisnis ini," ujar Helmi.
Meski banyak ibu-ibu yang jago memasak, mereka hanya menggunakan keterampilan itu untuk menerima pesanan hajatan, atas permintaan tetangga-tetangga dan warga sekitar. Sedangkan, menjadikan keterampilan sebagai sumber penghasilan rutin, dengan membuka warung makan, belum mampu dilakukan.
Melihat kenyataan ini, Helmi akhirnya mengajak ibu-ibu tadi, untuk menjadi penyedia hidangan untuk angkringan miliknya. Tak hanya nasi bungkus, melainkan sayur, lauk, gorengan, camilan, hingga jamu.
Yang menjadi khas di angkringan miliknya, menu yang dinamai sego singo sambel paus. Kata Helmi, itu sebagai nama brand pengganti nasi kucing sambel teri. Sistem kerjasama yang ia jalin bersama ibu-ibu, adalah bagi keuntungan. Dari selisih harga jual Helmi ke pelanggan, dan harga sebungkus nasi dari ibu penyedia masakan.
Awalnya, hanya satu ibu yang mau diajak bekerjasama, tapi sekarang ada beberapa, sekitar empat orang ibu. Menyediakan masakan untuk delapan gerobak angkringan, yang tersebar di beberapa wilayah Tahunan, hingga Mantrijeron. Ada dua gerobak di Tahunan, dua gerobak angkringan di Celeban, dua lagi di Pandeyan. Ada satu gerobak angkringan di Pandeyan, serta satu yang lain di Mantrijeron.
"Sekarang sedang mencari pegawai baru, untuk angkringan di wilayah Kalimambu, dekat asrama pelajar dan mahasiswa Nusa Tenggara Barat, serta di Pandeyan" tutur Helmi, yang menyabet gelar Pemuda Pelopor Kota Jogja 2014 ini.
Kelurahan Tahunan sendiri, memiliki banyak sisi yang membuka peluang bagi bisnis angkringan yang dimilikinya. Sebagai kampung wisata yang sudah terkenal sebagai kampung batik jumputan, Tahunan juga kerap dikunjungi sebagai lokasi wisata sejarah, seni, budaya, serta diapit beberapa kampus swasta.
Kampus-kampus tadi antara lain Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa, Universitas Ahmad Dahlan, dan Universitas Teknologi Yogyakarta. Dekat dengan empat asrama pelajar dan mahasiswa, dan menjadi lokasi banyak kos-kosan, mereka inilah yang menjadi target pasar angkringan More2Wow (baca: morotuwow) milik Helmi.
"Saya ingin membesarkan angkringan, sembari memberikan kesempatan adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat. Saya memilih konsep angkringan tradisional, bukan angkringan modern, sebagai salah satu cara, agar saya bisa melibatkan lebih banyak pihak dalam bisnis ini," ucap putra Amrullah Suparno dan Kusbandiyah itu.
Ia bisa saja memilih angkringan konsep modern, seperti yang saat ini mulai ramai didirikan. Namun, angkringan modern hanya menyerap sedikit sekali orang untuk diajak bekerja sama. Sementara angkringan tradisional miliknya, mampu memberdayakan banyak pihak. Bila kaum ibu memasak, kaum bapak ikut berpartisipasi dengan menjaga gerobak dan melayani pembeli.
Mahasiswa tak sekedar menjadi pangsa pasar, melainkan menjadi karyawan angkringan. Serupa seperti para kaum bapak, menjaga gerobak angkringan, sembari melayani pembeli.
Pendapatan yang diterima mahasiswa, tentunya tak seberapa. Namun, Helmi lebih meniatkan diri memberikan kesempatan kepada mereka untuk bisa berinteraksi bersama masyarakat, memelajari ilmu kewirausahaan, bagaimana melayani pembeli, melatih kepercayaan diri.
Keuntungan bersih yang bisa diperoleh selama sebulan, terhitung lumayan, dari satu gerobak angkringan saja didapat sekurangnya Rp2.500.000-Rp3.000.000 per bulan. Saat ini, ia telah memiliki delapan buah gerobak.
Hasil dari bisnis, ia gunakan untuk membiayai kehidupan sehari-hari, bersama kedua orang tua. Termasuk membiayai pengobatan ayahandanya yang menderita stroke sejak 2010.
Angkringan yang tersebar di hampir seluruh wilayah Tahunan ini, menjadikan kampung yang berada di kecamatan Umbulharjo ini nyaris identik dengan angkringan. Meski angkringan sudah lekat dengan Kota Yogya.
Tidak takut konsep kampung angkringan dicuri dan ditiru, justru semakin banyak improvisasi yang dilakukan. Ruang kosong pada tubuh gerobak dijadikan rak buku, majalah. Tiap akhir pekan, bapak-bapak dan mahasiswa yang menjaga angkringan, diwajibkan menggunakan surjan lurik dan blangkon. Hal ini dimaksudkan, selain ciri khas, juga salah satu cara menunjukkan bahwa angkringan yang dimilikinya adalah angkringan khas Jogja.
Sesungguhnya, pergerakan kampung angkringan ini juga atas niat dan kemauan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta anggota pengurus Kampung Wisata Tahunan yang lain, untuk menguatkan potensi kewilayahan di kampung mereka. (Han)