Jamasan Tombak Pusaka Kyai Wijoyo Mukti
Jamasan pusaka merupakan salah satu cara merawat benda-benda pusaka, benda bersejarah, benda kuno, termasuk benda-benda yang dianggap memiliki tuah. Dalam tradisi masyarakat Jawa, jamasan pusaka menjadi sesuatu kegiatan spiritual yang cukup sakral dan dilakukan hanya dalam waktu tertentu saja. Lazimnya jamasan pusaka dilakukan hanya sekali dalam satu tahun yakni pada bulan Suro. Oleh karena jamasan pusaka mempunyai makna dan tujuan luhur, kegiatan ini termasuk ritual budaya yang dinilai sakral.
Jamasan berarti memandikan, mensucikan, membersihkan, merawat dan memelihara. Sebagai wujud rasa terimakasih dan menghargai peninggalan atas karya seni budaya nan adiluhung para generasi pendahulunya kepada generasi berikutnya. Tujuannya adalah si pemilik pusaka tetap mempunyai jalinan rasa, ikatan batin, terhadap sejarah dan makna yang ada di balik benda pusaka yang mempunyai seabrek nilai luhur tersebut. Sehingga jamasan pusaka tidak sekedar membersihkan dan merawat fisik benda pusaka saja, akan tetapi yang lebih penting adalah memahami segenap nilai-nilai luhur yang terkandung. Nilai luhur tidak sekedar untuk diingat saja, namun lebih diutamakan untuk dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Terkait dengan hal tersebut di atas, Pemerintah Kota Yogyakarta kembali menggelar ritual Jamasan Tombak Pusaka Kyai Wijoyo Mukti, di Halaman Air Mancur, komplek Balaikota Yogyakarta, Jumat (6/11). Ritual jamasan pusaka tersebut dipimpin oleh Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Yogyakarta Hadi Mochtar yang mewakili Walikota Yogyakarta.
Upacara jamasan tersebut dimulai dengan mengeluarkan pusaka Tombak Kyai Wijoyo Mukti dari ruang penyimpanan yang berada di ruang kerja Walikota, kemudian diarak ke meja jamasan di sisi timur Halaman Air Mancur. Tombak Kyai Wijoyo Mukti diletakan di atas meja yang telah disiapkan ubo rampe jamasan, diantaranya; warangan (sejenis bahan kimia yang bisa didapat di toko bahan kimia), jeruk nipis, kawul atau serutan bambu, dan minyak cendana.
Kepala Dinsosnakertrans mulai memimpin untuk melakukan penjamasan. Proses penjamasan diawali dengan membuka penutup tombak. Selanjutnya mata tombak diguyur air untuk membersihkan kotoran, mata tombak digosok dengan jeruk nipis untuk membersihkan karatan di mata tombak. Dilanjutkan pengeringan dengan menggunakan kawul yang dilakukan beberapa kali. Usai pengeringan, mata tomba diolesi dengan warangan, selanjutnya diolesi dengan minyak cendana. Setelah didoakan pusaka Tombak Kyai Wijoyo Mukti dikembalikan lagi ke ruang kerja Walikota.
Pusaka Pemberian Kraton
Keberadaan pusaka Tombak Kyai Wijoyo Mukti pemberian Kraton Yogyakarta, yang diserahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah Kota Yogyakarta tanggal 7 juni 2000, melambangkan kondisi wijoyo wijayanti, artinya kemenangan sejati di masa depan, di mana seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan kesenangan lahir batin karena tercapainya tingkat kesejahteraan yang benar-benar merata. Keberadaan pusaka ini harus dipelihara dengan baik, karena melambangkan bagaimana kita melakukan perbuatan dengan hati yang bersih.
Hadi Mochtar, dalam sambutannya menjelaskan bahwa tombak pusaka Wijoyo Mukti, merupakan senjata yang dibuat pada tahun 1921 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
“Senjata yang sering dipergunakan para prajurit ini mempunyai panjang 3 meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan dhapur kudhuping gambir ini, landeannya sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu walikun, yakni jenis kayu yang sudah lazim digunakan untuk gagang tombak dan sudah teruji kekerasan dan keliatannya. Sebelumnya tombak ini disimpan di bangsal Pracimosono dan sebelum diserahkan, terlebih dahulu di-jamasi oleh KRT. Hastono Negoro, bertempat di dalem Yudonegaran. Pemberian nama Wijoyo Mukti baru dilakukan beberapa hari menjelang upacara penyerahan ke Pemkot Yogyakarta, tanggal 7 Juni 2000. Upacara penyerahan dilakukan di halaman Balaikota dan pusaka ini dikawal khusus oleh prajurit Kraton 'Bregodo Prajurit Mantrijero',” pungkasnya. (cok)