Magna Hari Kartini Ala Nenek Nenek Pedagang Pasar Ngasem Jogja

Peringatan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April 2016 ini diperingati  dengan cara berbeda oleh masing-masing  orang.  Demikian pula para pedagang  di  Pasar Tradisional Ngasem Yogyakarta.  Hari itu, mereka  bersepakat untuk mengenakan busana adat Jawa.  Hal itu dilakukan untuk mengenang jasa sang penggagas emansipasi wanita , RA. Kartini. Bukan hanya kaum ibu saja  tetapi juga para lelaki juga berbusana adat Jawa.  Mereka tampak santai dan tak canggung melayani para pembeli.

Sementara itu, ada pemandangan yang sedikit berbeda  di ruangan kerja Lurah Pasar Tradisional Ngasem  Kecamatan Kraton Yogyakarta pada hari itu. Pasalnya, ruangan berukuran (kira-kira) 10 x 6 meter persegi  itu disulap menjadi “catwalk” dadakan.   Tetap sama, perabot berupa meja kerja dan almari tetap berada di ruangan itu, hanya digeserpinggir dekat tembok, sehingga ada cukup ruang untuk digunakan para peragawati (si mbah) untuk berlenggak lenggok. 

Tepat pukul 10.30 wib, ada suara panggilan yang bersumber dari  ruang  kerja lurah pasar, menjangkau telinga semua pedagang.  Terdengar lima nama yang dipanggil  ibu Tari, salah seorang pengurus Paguyuban Pasar Ngasem. Mereka antara lain nenek Trisnowiharjo seorang penjual sayuran,  nenek Slamet (sayuran), nenk Surajiyem (sayuran) dan dua teman mereka lainnya. Rata-rata usia mereka diatas enam puluh tahun.  Tak kurang dari lima menit  satu persatu  nama yang dipanggil  memasuki ruang kerja bu lurah. Langkah mereka (masih)  mantap meski sedikit gontai, akibat uzurnya usia. Wajah ceria dibalut senyum  manis merekah di sudut bibir yang  sedikit  gemetar.  Guratan garis wajah ketuaan tergambar jelas meski  telah  disaput  bedak rias seharga  lima ratus perak. Tak perlu mewah. Tak perlu mahal, yang penting semangat.

“Aku iki arep diapake,” (Aku ini mau diapakan) ujar salah seorang ibu sembari melirik ke Lurah Pasar yang tepat berada di sebelahnya. Sejenak Lurah Pasar Ngasem yang juga seorang Ibu menjelaskan maksud dan tujuan mereka dikumpulkan di ruangan itu.  “Mbah mbah sekalian, dalam rangka peringatan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April hari ini, kita akan mengadakan lomba  fesenso (Fashion show). Si mbah-simbah nanti berjalan , lenggak lenggok di sini dan dinilai oleh bapak bapak itu (dari Dinlopas). Yang paling bagus akan dapat hadiah,” jelas bu Lurah, Nur Khasanah Sulaiman.  Kelima ibu saling memandang sambil tersenyum sipu.

Pembawa acara memersilakan para si Mbah untuk menuju ke titik start. Satu persatu berbaris berdasarkan nomor urut panggilan.  Dari balik jendela  ruangan  kantor lurah, berjejal ibu-ibu pedagang lainnya. Sejenak, mereka meninggalkan barang dagangannya untuk memberi dukungan kepada ke lima rekan mereka yang sedang bertanding. Tepuk tangan, serta riuh reda suara dukungan memenuhi ruangan.

Pembawa acara  memanggil  satu persatu kelima nenek,  untuk berjalan bak peragawati ternama mengitari ruangan.  Masing-masing  mereka tampil dengan mantap dan penuh percaya diri yang tinggi. Mereka juga memiliki  karakter yang berbeda.  Nenek Surajiyem misalnya, dengan perawakan yang tinggi, derap langkahnyapun ikut berpengaruh, gagah dan anggun.  Demikian pula, nenek Trisnowiharjo ketika namanya dipanggil dengan semangat empat lima langsung  berlenggak lenggok di atas catwalk jubin, sambil membuat  beberapa gerakan menarik perhatian para juri dari Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta.  Begitu pula para nenek yang lain. Mereka seakan tak peduli dengan keadaan sekelilingnya.  Sekilas tergambar pada raut wajah mereka adalah tekad dan semangat untuk melakukan yang terbaik.  Walaupun fisik mereka renta, tidak seprima pemodel muda, namun semangat meraka tetaplah muda.

Akhirnya, dalam setiap  pertandingan atau lomba harus ada yang menjadi pemenang.  Para juri tidak perlu berlama lama berembug untuk menentukan sang juara.  Nenek Trisnowiharjo seorang pedagang sayur mayur dinobatkan sebagai Juara I, disusul  nenek Slamet  ditempat II  dan nenek Surajiyem sebagai juara III. Mereka mendapatkan bingkisan kado dari Paguyuban Pasar Tradisional Ngasem.  Sedangkan dua nenek lainnya hanya mendapatkan ucapan terima kasih.

Magna Hari Kartini

Ketika ditodong untuk memberikan sedikit komentar mengenai hari Kartini kelima nenek hampir memberikan jawaban kembar. “Kulo mboten ngertos, mas” (Saya tidak tahu mas),”ujar mereka. Mereka mengatakan  magna hari Kartini bagi mereka adalah bebas berjualan di pasar dan dapat membantu menghidupi nafkah keluarga.  Nenek Trisnowiharjo menambahkan bahwa dirinya tidak tahu persis tentang magna hari Kartini, hanya dirinya pernah mendengar bahwa Kartini adalah pejuang kaum perempuan. “Bagi kulo, sing penting urip niku ora ngerepotke wong liyane. Mandiri.  Kae magnane, (Bagi saya yang penting hidup itu tidak membuat repot orang lain. Mandiri Itulah magnanya),” tambah nenek yang berjualan sayur sejak masih muda itu.

Sederhana. Bagi nenek nenek  pedagang di  pasar Ngasem Yogyakarta magna hari Kartini adalah mandiri, tidak bergantung kepada orang lain meskipun usia mereka sudah renta.  Bagi mereka hidup harus bermagna bagi diri sendiri dan orang di sekitarnya, termasuk keluarganya. Selamat Hari Kartini. (@mix)