Srikandi Cokro, Kelompok Penggiiat Batik Asal Cokrodiningratan

Berawal dari keinginan membantu perekonomian keluarga dan untuk menambah keterampilan yang mereka miliki, sebanyak 20 ibu rumah tangga RW 03 Cokrodiningratan yang tergabung dalam kelompok Srikandi cokro mencoba membuat batik karya mereka sendiri.

Ketua Kelompok Jumputan Srikandi Cokro, Siti Masamah mengungkapkan, jika kelompok Jumputan Srkandi Cokro ini terbentuk pada juli 2016. sebelumnya kelompok ini merupakan kelompok simpan pinjam ibu rumah tangga.

“Ide awalnya adalah para ibu–ibu ingin kegiatan yang bisa menambah ekonomi mereka hingga tercetuslah batik jumputan untuk mereka kembangkan.” Katanya.

Ide tersebut kemudian direalisasikan dengan pemberian pelatihan kepada 20 anggota kelompok yang bekerjasama dengan Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Yogya.

Dipilihnya batik jumput, menurut Siti karena membuat batik jumputan tidak sesulit batik tulis dan cap. “Hanya saja, dibutuhkan kehati-hatian ketika melepas ikatan pola agar tidak merobek atau merusak kainnya” katanya.

Ia menjelaskan, setiap bulan pada tanggal 21 akan ada pertemuan para anggota kelompok. Pada saat itu mereka akan membawa kain batik yang sudah jadi dan sudah disetrika untuk diserahkan kepada pengurus/bendahara.

Siti menjelaskan proses pembuatan batik jumputan Cokrodiningratan dilakukan dengan cara dijumput atau pola dan yang akan diberi warna diikat dengan karet gelang, atau dijahit rapat.

“Setelah itu dicelupkan ke pewarna dan djemur. Setelah kering, ikatan dilepas dan muncullah pola yang dibuat tadi” ungkapnya

Untuk pewarnaannya sendiri, para ibu ini menggunakan bahan pewarna jenis indigosol atau naptol. Yang membedakan keduanya adalah bahan campuran yang harus disediakan serta teknik pewarnaan.

“Indigosol memerlukan cahaya matahari untuk mengubah warga kain sementara kain dengan pewarnaan naptol tidak memerlukan cahaya matahari’ ujarnya.

Setelah pewarnaan, lanjutnya, batik jumput terlebih dahulu dibilas dengan air biasa, baru kemudian memasuki tahap pendedelan.

“Jahitan atau ikatan yang ada di kain dilepas dan dibilas lagi dengan air bersih. Setelah tahapan ini dilalui maka pola dan motif jumputan akan tampak di kain tersebut” jelasnya.

Namun, Siti mengakui dengan teknik jumputan itu seringkali motif yang dihasilkan tidak sesuai dengan pola yang dibuat dan diharapkan. “Tapi justru itulah, menurutnya, yang membuat batik jumputan menjadi unik dan berbeda.” tambahnya.

Meski baru 6 bulan terbentuk, namun karya mereka sudah di pasarkan tidak hanya di Yogyakarta saja, namun juga sudah merambah ke kota-kota besar seperti Jakarta, Banten-Jawa Barat dan sebagian kota di Jawa Tengah.

“Untuk pemasarannya kami menggunakan sistem onlie, jadi pembeli tidak hanya ada di Yogya saja,bahkan ada juga yang pesan dari Kalimantan dan Sumatra, tapi yang paling sering pesan daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan yang terjauh adalah dari Ambon” katanya. 

Sedangkan untuk harga kain batik jumputan produksi kelompok Srikandi Cokro ini, Siti menjelaskan tergantung dari motifnya, semakin lebih warnanya maka harga akan menyesuaikan.

 “Kalau harga setiap potongnya itu tergantung pada motifnya semakin sulit tingkat pengerjaanya yakni lebih dari satu warna dan memakai bahan kain yang kwalitas bagus seperti premisima dan sutra maka harganya pasti lain, kami menjual termurah 130 rb dan yang termahal adalah 200 ribu’ urainya.

Ia berharap kedepan kelompok Srikandi Cokro semakin kompak, karena dengan kekompakan tersebut ia yakin  produksi batik jumputan cokrodiningratan juga akan berkembang pesat

“Intinya adalah kekompakan antar anggota, dan saya yakin usaha batik jumput kalau bener-bener dikelola dengan baik akan bisa berkembang pesat” tegas siti. (Han)