Penataan Malioboro tidak bisa instan

Selasa Wage, 23 Juli 2019 bertempat di pintu barat kepatihan digelar Dialog Budaya & Gelar Seni  “Yogya Semesta” seri 119 kerjasama dengan Bappeda DIY, narasumber Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Poerwadi, Indra Trenggana/budayawan, Ari Wulu/penata musik gamelan dan Achmad SM (IAI)  dipandu host Hari Dendi didampingi Rommy Heryanto. Diawali dengan alunan gamelan dari Gamelan dan Suluh gayam 16, pameran hasil karya lukis dari 4 siswa SMSR yang dilanjutkan dengan sajian tari beksan gaya Yogyakarta Langen Mandra Wanara dengan lakon Senggono Duto yang dibawakan oleh pamong SMKN 1 Kasihan, Bantul.  

Heroe Poerwadi mengawali dialog budaya yang bertopik “ Malioboro, ruang kreativitas publik” dengan ungkapan untuk menuju Malioboro sebagai sebuah pedestrian tidak bisa dilakukan dengan instan, tapi butuh proses berupa tahapan-tahapan dimana dalam setiap tahapan dievaluasi agar tidak memunculkan dampak negatif bagi para pemangku kepentingan di Malioboro. Pada tahap awal ini Malioboro kita konsep sebagai semi pedestrian dan telah dilakukan uji coba dua kali selasa wage. Untuk selasa wage yang pertama berbagai masukan telah kami terima dan kita terapkan dalam kebijakan di uji coba kedua ini, sedangkan hasil dari uji coba kedua akan kita diskusikan, guna diketahui pernasalahan yang muncul dan alternatif solusi dari permasalahan tersebut. Pemkot telah melakukan rekayasa lalu lintas, penyediaan sarana parkir dan upaya membiasakan masyarakat baik melalui sosialisasi, edukasi maupun  kebijakan yang langsung diterapkan dalam pelaksanaan semi pedestrian Malioboro.  Terkait dengan lalu lintas masalah yang muncul adalah arus masuk dengan arus keluar lalu lintas pada satu titik temu yang berpotensi membuat macet oleh karena itu Pemkot berupaya untuk menata arus lalu lintas dengan jalan searah dan tata kelola lampu pengatur lalu lintas. Untuk masalah parkir kami berkoordinasi dengan PT KIA agar di kawasan stasiun Tugu bisa dibangun lahan parkir yang bisa memuat 1300 kendaraan.

Menurut Indra Trenggana, budayawan muda bertutur bahwa Malioboro adalah ikon Kota Yogyakarta, jika kita berbicara tentang Malioboro maka tak lepas dari tiga hal, yakni ; Malioboro dan Romantisme, Malioboro dan ekonomi wisata, Malioboro dan peradaban Kota Yogyakarta. Sementara Ari Wulu berujar bahwa dari pengalamannya dalam menyusuri trotoar malioboro telah lahir berbagai ide dan gagasan kreatif dalam bermusik, sehingga bagi saya Malioboro sangat dinamis dalam memberi ruang untuk berkreasi dan berkarya. Sedangkan Achmad SM, menyampaikan bahwa penataan ruang publik apalagi seperti Malioboro harus dilakukan secara bertahap dan terukur agar diperoleh hasil yang memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan di Malioboro.  

Dalam dialog tersebut ada pengunjung Malioboro yang berasal dari luar kota menyampaikan keluhannya tentang tempat pembuangan sampah yang dirasa masih kurang. Menanggapi tentang sampah Heroe Poerwadi menjelaskan bahwa jumlah bak sampah di Malioboro telah memenuhi standar kebutuhan, namun kebanyakan orang yang membuang sampah justru di sekitar bak sampah. Hal ini menimbulkan tumpukan sampah di sekitar bak sampah. Mensikapi itu Pemkot dan Paguyuban Pedagang Malioboro tengah membangun gerakan komunitas  yang memungut sampah dan mengelola sampah. Sampah dipungut dijadikan dalam satu tempat yang kemudian secara reguler diambil oleh DLH, sedangkan sampah yang bisa didaur ulang akan dikelola agar bisa memberi manfaat. Selain itu melalui UPT Malioboro dibangun kesadaran untuk membuang sampah dan memungut sampah yang dibuang tidak pada tempatnya melalui senyum sapa petugas pada pengunjung sembari mengingatkan agar membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.

Pemkot mengapresiasi dan berterima kasih atas berbagai masukan dari para pengunjung, pemerhati dan budayawan untuk dijadikan masukan dalam merumuskan kebijakan tentang Malioboro. Dialog Budaya diakhiri dengan penyerahan Cinderamata oleh Heroe Poerwadi pada para nara sumber dalam dialog Budaya. (ant)